Efisiensi Anggaran Pusat Bikin PBB Melonjak di Daerah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/alifia-dwi-ramandhita-1'>ALIFIA DWI RAMANDHITA</a>
LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA
  • Kamis, 14 Agustus 2025, 21:42 WIB
Efisiensi Anggaran Pusat Bikin PBB Melonjak di Daerah
Ilustrasi: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Foto: RMOL/Raiza Andini)
rmol news logo Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat memicu gejolak di sejumlah daerah. 

Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) membuat pemerintah daerah terpaksa menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga ribuan persen, yang memantik gelombang protes warga.

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, alokasi TKD dipatok Rp848,52 triliun. Angka itu jauh di bawah pagu APBN 2025 yang sebelumnya menetapkan TKD sebesar Rp919,9 triliun.

Imbasnya, kenaikan PBB-P2 di sejumlah daerah mencapai 250-1.000 persen. Di Pati, Jawa Tengah, demonstrasi pecah setelah pajak melonjak 250 persen, bahkan demonstrasi berujung tuntutan agar Bupati mundur. 

Lonjakan serupa juga terjadi di Cirebon (100-1.000 persen), Bone, Sulawesi Selatan (300 persen), Jombang, Jawa Timur (1.202 persen), dan Semarang, Jawa Tengah (441 persen).

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menilai lonjakan pajak ini adalah buntut pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh pemerintah pusat. 

"Yang pertama itu terjadi karena memang daerah itu enggak ada uang. Ada banyak faktor karena memang penurunan penerimaan pajak daerah dan yang paling signifikan adalah pemangkasan anggaran DAU dan DAK," kata Media dalam pernyataannya dikutip redaksi di Jakarta pada Kamis, 14 Agustus 2025.

Dalam kebijakan efisiensi tersebut, DAU dipangkas Rp15,6 triliun menjadi Rp431 triliun, sementara DAK turun menjadi Rp166,7 triliun dari Rp185,2 triliun.

Dana Bagi Hasil juga dipotong menjadi Rp159,9 triliun dari Rp192,3 triliun. Pemotongan turut menyasar Dana Desa, Dana Otonomi Khusus, Dana Tambahan Infrastruktur, hingga Dana Insentif Fiskal.

Media menjelaskan, untuk itu, PBB dipilih sebagai sumber penerimaan dana daerah cepat karena sistem dan infrastrukturnya sudah matang. 

"Sistem penagihannya sudah jelas, bahkan kita bisa bayar dengan mobile banking, loket keliling, sistemnya sudah ada. Jadi nggak repot karena sekali setahun jadi masyarakat ah ya sudahlah bayar meskipun mahal satu kali setahun," jelasnya.

Ia mengingatkan, 70 persen kabupaten/kota di Indonesia bergantung pada TKD. Dengan pendapatan daerah lain seperti pajak hiburan, reklame, dan parkir yang merosot akibat lesunya ekonomi, pajak tanah dan bangunan menjadi sasaran empuk.

Media mencontohkan, pemangkasan DAU dan DAK yang biasanya dipakai untuk proyek infrastruktur, seperti irigasi, berdampak pada lapangan kerja dan perputaran ekonomi di daerah. 

“Kalau tidak ada proyek, uang tidak berputar di bawah. Pembangunan terhambat,” tegasnya.

Ia juga menyoroti stagnasi rasio pajak nasional selama 10 tahun terakhir akibat kegagalan memungut pajak lebih banyak dari kelompok super kaya. 

Penurunan tarif pajak penghasilan badan (corporate income tax) dan lemahnya optimalisasi sektor perpajakan lain membuat beban fiskal akhirnya bergeser ke daerah.

"Penerimaan negara kita sekarang sedang terpukul karena dua kuartal tidak meningkat signifikan dan selama 10 tahun terakhir rasio pajak kita stagnan karena kegagalan kita mengumpulkan pajak lebih banyak. Jadi ini muaranya akhirnya dirasakan di daerah," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA