Produksi telur nasional melimpah, harga tetap stabil, dan pasokan terjaga.
Padahal fenomena
eggflation telah membuat harga telur di banyak negara melonjak tajam, berdampak pada produk berbasis telur seperti kue kering dan makanan olahan lainnya yang kini mencapai rekor tertinggi.
Mengutip
Love Money, lonjakan harga ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk wabah flu burung yang meningkatkan biaya produksi serta krisis pasokan di sejumlah negara.
Di Swiss, misalnya, harga telur per kilogram kini menyentuh 6,85 dolar AS atau sekitar Rp113.534. Sementara di Selandia Baru harga telur mencapai 6,22 dolar AS atau Rp103.063, di Singapura 3,24 dolar AS atau Rp53.687, di Amerika Serikat 4,11 dolar AS atau Rp68.103, di Prancis 4,08 dolar AS atau Rp67.606, dan di Australia 4,13 dolar AS atau Rp68.428.
Namun, di Indonesia, harga telur tetap stabil dengan stok yang terjaga, bahkan melimpah.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Pertanian (Kementan), Moch. Arief Cahyono, menyatakan bahwa per 25 Maret 2025, harga telur ayam ras nasional berada di angka Rp29.475 per kilogram. Sementara itu, di DKI Jakarta, harga telur lebih rendah dari rata-rata nasional, yakni Rp27.688 per kilogram.
“Seperti yang sudah disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, pemerintah terus menjaga stok dan harga komoditas pangan strategis, termasuk telur," kata Arief dalam keterangan pers, Rabu, 26 Maret 2025.
"Alhamdulillah, berkat kerja keras semua pihak, terutama petani dan peternak, pada Ramadan dan Lebaran kali ini, stok dan harga sembilan komoditas pangan strategis dalam kondisi aman, bahkan melimpah,” sambungnya.
Arief menjelaskan, kondisi peternakan di Indonesia berbeda dengan negara lain karena neraca telur ayam nasional saat ini mengalami surplus.
Berdasarkan proyeksi neraca pangan 2025 yang dihimpun Badan Pangan Nasional (Bapanas), produksi telur ayam ras mencapai 6,4 juta ton, sedangkan kebutuhan bulanan sekitar 518 ribu ton. Dengan demikian, Indonesia diperkirakan akan terus mengalami surplus.
“Surplus ini menunjukkan kapasitas produksi yang kuat. Kami akan terus memastikan keseimbangan antara pasokan dan harga agar tidak merugikan peternak maupun konsumen,” kata Arief.
Uniknya, negara-negara eksportir
grand parent stock (GPS) ayam ke Indonesia justru mengalami kekurangan pasokan dan harga telur mereka melonjak tinggi.
Amerika Serikat, Prancis, dan beberapa negara Eropa yang selama ini menjadi pemasok utama GPS ke Indonesia kini tengah berjuang menghadapi krisis pasokan akibat wabah penyakit unggas dan kenaikan biaya produksi.
"Kondisi yang kurang stabil di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa industri peternakan ayam petelur secara global sedang menghadapi tantangan," tutup Arief.
BERITA TERKAIT: