Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah M. Din Syamsuddin angkat bicara terkait kebijakan tersebut. Dia berprasangka baik ke pemerintah karena telah memperhatikan ormas keagamaan di Indonesia.
“Dengan
husnudzon pemberian konsesi tambang batubara untuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka,” kata Din dalam keterangannya, Selasa (4/6).
?Namun menurutnya, hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesan hanya untuk mengambil hati.
“Maka,
suudzon tak terhindarkan. Sebenarnya sewaktu diminta menjadi Utusan Khusus Presiden untuk dialog dan kerja sama antar agama dan peradaban, yang sempat ditolak dua kali, saya ada mempersyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketidakadilan ekonomi antara kelompok segelintiran yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi,” ungkapnya.
Tetapi, lanjut dia, Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah. Tokoh sepuh Muhammadiyah itu langsung memprotes political will Jokowi dalam memperhatikan umat Islam.
“Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (
political will). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (
affirmative actions) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu,” tegas dia.
Pria asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga meminta Jokowi agar mau menaikkan derajat pengusaha Muslim untuk menjadi setara dengan Taipan.
Masih kata Din, hal demikian perlu agar kesenjangan ekonomi yang berhimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia.
“Itulah salah satu alasan mengapa saya mundur dari jabatan tersebut. Kini, tiba-tiba kehendak politik itu ada lewat Menteri Bahlil. Walau tidak ada kata terlambat, namun pemberian konsesi itu tidak dapat tidak mengandung masalah,” uranya.
Sambung dia, masalah pertama adalah pemberian konsesi tambang batubara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu.
“Tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintiran tadi. Luas diketahui satu perusahaan, seperti Sinarmas menguasai lahan walau bukan semuanya batubara, seluas sekitar 5 juta hektare,” bebernya.
Bahkan, tegas dia, dunia minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber Daya Alam Indonesia sungguh "dijarah secara serakah" oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
“Pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Saya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil. Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara,” ungkapnya lagi.
Dia menambahkan bahwa pemberian tambang "secara cuma-cuma" kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan.
Mengutip seorang pakar, Din menuturkan Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020.
“Sistem IUP ini tidak sesuai Konstitusi, tidak menjamin bahwa perolehan Negara/APBN harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan wewenang pemberian IUP sebagai sumber korupsi,” bebernya lagi.
Lanjutnya, jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi.
Dia pun menjelaskan bahwa pemberian konsesi tambang batu bara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat Pemilu/Pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketidakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan.
Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata. Sehingga dia mendorong pemerintah melakukan aksi afirmatif, yakni dengan mempersilakan pengusaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan, bukan diperdayakan.
“Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (
problem maker), bukan bagian dari masalah (
a part of the problem),” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: