Di dalam sagu, terdapat karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam 100 gram sagu kering, terdapat 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi.
Kementerian Perindustrian menilai diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat merupakan salah satu upaya untuk menjaga keamanan pangan dalam negeri.
Sagu menjadi produk pangan lokal yang dinilai merupakan salah satu pilihan yang tepat karena memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan cuaca.
Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, mengungkapkan pohon sagu dapat tetap tumbuh meskipun saat banjir ataupun pada saat masa kekeringan karena kemarau panjang, sehingga pohon sagu tidak terdampak fenomena alam seperti La Nina dan El Nino.
Menurutnya, sagu berpotensi dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat utama nasional karena Indonesia memiliki lahan sagu yang diperkirakan mencapai 5,5 juta hektar.
“Luasnya lahan sagu tersebut dapat menjadi cadangan pangan sumber karbohidrat yang besar untuk dalam negeri maupun dunia, meskipun demikian pengolahan sagu dalam negeri belum secara masif dilakukan,” terang Putu, di sela-sela acara Business Matching 2024 yang baru saja berakhir.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong pengembangan hilirisasi sagu di dalam negeri melalui dukungan peningkatan produksi pati sagu dan diversifikasi produk olahan pati sagu.
Pada 2023, Kemenperin bekerja sama dengan beberapa industri besar produsen pati sagu untuk meningkatkan utilisasi produksinya.
“Utilisasi produksi industri pati sagu nasional saat ini masih sangat rendah yaitu di bawah 30 persen. Hal ini sebagai dampak dari keterbatasan industri untuk memperoleh bahan baku empulur sagu,” terang Putu.
Selain pengembangan model bisnis sagu, Kemenperin juga mendukung diversifikasi produk olahan pati sagu. Pati sagu saat ini sebagian besar banyak dikenal sebagai bahan untuk membuat papeda, namun saat ini sudah mulai tumbuh industri pengolahan sagu menjadi produk yang modern seperti mi instan dan beras analog.
“Produk pangan olahan ini berpotensi menjadi pangan utama pengganti beras terutama pada saat terjadinya kelangkaan beras,” kata Putu.
BERITA TERKAIT: