Penguatan dolar itu disebut telah menyebabkan kurangnya permintaan minyak dalam mata uang tersebut bagi pembeli yang membayar dalam mata uang lain.
Mengutip Reuters, minyak mentah berjangka Brent turun 36 sen atau 0,5 persen menjadi 77,93 dolar (Rp1,218 juta) per barel.
Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terpantau ikut turun 43 sen atau 0,59 persen menjadi 71,97 dolar (Rp1,125 juta) per barel.
Pada perdagangan kali ini, kurs dolar AS dilaporkan terbang mendekati level tertinggi dalam satu bulan terakhir, setelah pejabat bank sentral The Fed mengikis ekspektasi penurunan suku bunga acuan yang agresif.
"Jatuhnya harga minyak dipicu oleh komentar yang sedikit lebih hawkish dari para gubernur bank sentral," kata ahli strategi komoditas senior di ANZ Bank, Daniel Hynes.
Anjloknya harga minyak itu juga terjadi setelah pada Selasa (16/1), AS dan Inggris melancarkan serangan baru terhadap Houthi Yaman, yang bersekutu dengan Iran, setelah milisi menyerang kapal Yunani di Laut Merah.
Akibat serangan tersebut, perusahaan minyak asal Inggris, Shell, menghentikan pengirimannya melalui Laut Merah. Namun produsen AS, Chevron dikabarkan tetap mempertahankan rute Laut Merahnya.
"Meskipun tolok ukur minyak mungkin tidak mencerminkan serangan di Laut Merah, harga realisasi minyak dan produk minyak bagi konsumen telah meningkat karena adanya gangguan terhadap arus perdagangan melalui Laut Merah dan Terusan Suez," ujar Direktur Strategi Komoditas Pertambangan dan Energi Commonwealth Bank of Australia, Vivek Dhar.
BERITA TERKAIT: