Kratom, sebagai tumbuhan herbal yang tumbuh di Asia Tenggara dan menjadi tanaman endemik di beberapa wilayah di Kalimantan, kini tengah menjadi perdebatan mengenai manfaat ekonomi dan potensi risiko kesehatan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) sendiri telah menetapkan Kratom sebagai New Psychoactive Substances (NPS) dan merekomendasikan penggolongannya sebagai narkotika golongan I berdasarkan potensi ketergantungan dan bahayanya, yang diklaim 13 kali lebih besar dari morfin.
Meski demikian, sampai saat ini belum ada regulasi yang ditetapkan untuk mengatur penggunaan tumbuhan herbal itu, sehingga pemerintah belum bisa membatasi penggunaannya.
Di sisi lain, tumbuhan herbal kontroversial ini ditaksir memiliki nilai ekspor yang fantastis, dan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia, karena banyak dicari di belahan dunia untuk kebutuhan farmasi dan kedokteran.
Menanggapi potensi tersebut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan dukungannya untuk meningkatkan ekspor Kratom, meskipun menyadari adanya risiko potensial.
"Kemarin ada produk tumbuhan kratom. Orang AS datang, kami mau beli ini (Kratom), (mereka tanya) bisa nggak? bisa saja. Kan belum dilarang," kata Zulhas dalam sambutannya pada Agustus lalu, yang dikutip Selasa (26/12).
Menurut Zulhas, saat ini yang terpenting adalah kesejahteraan petani Indonesia, yang disebut bisa mendapatkan keuntungan besar dari ekspor Kratom ke Amerika Serikat (AS).
"Kalau penggunaannya salah kan bukan kita yang salah, yang sana, yang penting petani dapat dollar, senang, makmur enggak apa-apa," ujar Zulhas.
Meski tanaman ini belum diatur secara resmi oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), namun Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PEN) Kemendag, Didi Sumedi, menekankan bahwa izin ekspor Kratom akan dikeluarkan setelah hasil kajian terkait potensi dan substansi tanaman ini selesai.
"Ya kalau dari sumber daya alamnya sih kita banyak, tapi kan ini sedang digali masalah substansi-nya. Substansi kratom sendiri, apakah dia memang termasuk golongan yang dikatakan ada mengandung psikotropika, tapi kan masih dalam kajian, ini belum selesai," kata Didi.
Di tengah perdebatan itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya pertumbuhan positif nilai ekspor Kratom hingga Mei 2023, yang mencapai 52,04 persen menjadi 7,33 juta dolar (Rp113 miliar)
Dengan hadirnya tanaman tersebut, pemerintah yakin bahwa potensi ekonomi dan tingginya permintaan pasar akan menjadi dorongan untuk terus mendorong ekspor tanaman herbal Kratom, menyusul penentuan status narkotika masih menunggu keputusan resmi.
BERITA TERKAIT: