Dimensy.id
Apollo Solar Panel

AKP Rentan Dieksploitasi Pemilik Kapal, Pemerintah harus Perketat Sistem Pengawasan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Minggu, 10 Desember 2023, 13:51 WIB
AKP Rentan Dieksploitasi Pemilik Kapal, Pemerintah harus Perketat Sistem Pengawasan
Awak Kapal Perikanan (AKP)/Net
rmol news logo Ekspor produk perikanan Indonesia hingga September 2023 mencapai 4,1 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp64,3 triliun. Jumlah ini melebihi target yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar 53 persen.
 
Adapun ekspor tuna-cakalang-tongkol mencapai 282 juta Dolar AS sementara untuk produk cumi-sotong-gurita mencapai 195 juta Dolar AS. Untuk tahun 2023, PNBP perikanan ditarget mencapai Rp3,2 miliar atau kenaikan sebesar 92,9 persen dari tahun 2022.
 
Kendati demikian, Human Rights Manager DFW, Miftachul menyebut kehidupan awak kapal perikanan (AKP) masih rentan dari pemenuhan hak-hak dasarnya.
   
“Bagi pelaku usaha, AKP yang rentan akan menguntungkan karena mudah dikendalikan dan akan melakukan apa saja tanpa ada protes. Secara ekonomi, AKP berlatar belakang pengangguran dan pekerja serabutan sehingga menganggap bekerja di laut adalah cara terakhir untuk mendapat penghasilan,” ujar Miftachul saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (10/12).

Akibat kerentanan ekonomi, lanjut dia, AKP akan menerima jeratan utang dari calo atau pemilik kapal.

“Dokumen kewarganegaraan AKP juga seringkali disita oleh calo atau pemilik kapal sebagai jaminan untuk pembayaran hutang. Akibatnya, AKP memiliki kesulitan ketika melakukan pelaporan atau berkunjung ke fasilitas publik seperti rumah sakit,” ungkapnya.

Miftachul menambahkan akibat rekrutmen secara informal dan tidak membutuhkan pengalaman dan kemampuan bekerja di kapal, AKP memiliki keterbatasan dalam meningkatkan daya tawar berdasarkan kompetensi.

Selain itu, saat ini juga belum ada serikat pekerja perikanan yang mampu mengorganisasi pekerja dan meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha atau pemerintah.

“Pemerintah juga turut andil dalam kondisi saat ini. Meskipun sudah ada Sertifikat HAM Perikanan melalui Permen KP No. 35 tahun 2015, belum ada implementasi dan insentif untuk mendorong pelaku usaha memiliki sertifikasi HAM,” beber dia.

“Selain itu, pengawasan dan inspeksi untuk memastikan PKL dan e-logbook juga belum dilakukan oleh pemerintah sehingga masih banyak kapal berlayar meskipun AKP belum memiliki PKL,” tambahnya.

Menurut dia, industri perikanan tangkap Indonesia masih dibangun atas kerja paksa yang harus dilakukan oleh awak kapal perikanan.

“Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, pemilik kapal tidak segan untuk menekan gaji, memberikan ruang kapal yang layak serta suplai yang cukup tanpa harus membayar, dan tidak tersedianya jaminan kesehatan,” jelas dia.

“Dalam kata lain, eksploitasi AKP adalah salah satu strategi yang dihalalkan oleh pelaku usaha demi mendapat keuntungan yang banyak dan modal yang sedikit. Pemerintah turut hadir dalam eksploitasi ini melalui pembiaran dan memberikan izin terhadap kapal-kapal yang tersandung kerja paksa,” tambahnya lagi.

Seiring dengan keterbukaan pasar perikanan Indonesia, eksploitasi terhadap AKP dipastikan akan terus berlanjut bahkan dapat mengalami peningkatan. Untuk itu, DFW merekomendasikan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pembeli, pemerintah dan pelaku usaha.

“Kami mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera merumuskan panduan tata kelola termasuk sistem pengawasan awak kapal perikanan dan Pekerja di Unit Pengolahan Ikan sehingga dapat memberikan jaminan perlindungan kerja yang holistik bagi pekerja perikanan Indonesia,” imbuhnya.

Selanjutnya, dia menghendaki perbaikan regulasi tata kelola AKP yaitu melalui revisi Peraturan Menteri  Kelautan dan Perikanan  No. 33/2021 dengan membuat ketentuan tentang sistem rekrutmen yang adil, sistem pengawasan AKP dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif.

“Kami juga mendorong pemerintah untuk melakukan inspeksi dan pemeriksaan kondisi kerja diatas kapal, dan kelengkapan sertifikasi dan kompetensi. Pemeriksaan tersebut meliputi aspek  aspek K3, keikutsertaan jaminan sosial bagi pekerja perikanan, BST, Buku Pelaut dan Perjanjian Kerja Laut bagi setiap awal kapal perikanan,” tegas Miftachul.

Masih kata dia, DFW Indonesia meminta pemerintah mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi di industri perikanan dan mendorong pelaku usaha untuk transparan dalam menetapkan upah AKP

Selain itu, pihaknya mendorong peran peran pemerintah provinsi dalam melakukan pengawasan kondisi kerja awak kapal perikanan dan kondisi kerja di Unit Pengolahan Ikan pada sentra-sentra perikanan

“Terakhir, kami mendorong pembentukan, konsolidasi dan penguatan Serikat Pekerja Perikanan dalam skala nasional sebagai sarana perjuangan pekerja perikanan dalam melakukan perundingan dengan pemerintah dan pelaku usaha perikanan,” pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA