Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Privatisasi Laut Terjadi, Perumusan PIT Makin Tak Berpihak kepada Nelayan Kecil

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Rabu, 01 November 2023, 21:31 WIB
Privatisasi Laut Terjadi, Perumusan PIT Makin Tak Berpihak kepada Nelayan Kecil
Ilustrasi Foto/Net
rmol news logo Narasi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadi pertanyaan besar dalam pencapaiannya.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melakukan kajian yang menyoroti berjalannya visi tersebut.

Rencana aksi dari visi tersebut tertuang dalam Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), dinilai masih jauh dari rasa keadilan dalam mengelola laut. Terlebih, ketika keluarnya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Nyatanya, KKI justru menjual sumber daya laut kepada kepentingan korporasi dan industri skala besar. Melalui kebijakan keterbukaan pasar, zonasi, dan rencana penangkapan ikan berbasis kuota, pemerintah mensponsori perampasan laut dari mereka yang hidup bergantung pada ekologi laut, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir,” ujar Manager DFW Indonesia, Miftachul Choir, dalam keterangannya, Rabu (1/11).

Bukti nyata perampasan laut itu, sambung dia, ketika tingkat pemanfaatan ikan sudah mencapai over eksploitasi, masyarakat pesisir tergusur atas nama pembangunan.

“Nelayan tradisional dipaksa untuk hidup bersama raksasa atau kapal-kapal besar dan tidak ada pelibatan substansial dari masyarakat pesisir dan nelayan tradisional,” jelasnya.

Menurut dia, perampasan laut juga tidak dapat dilepaskan dari kemunduran demokrasi Indonesia. Layaknya kebijakan di sektor daratan, KKI berpihak kepada pelaku usaha dan mengorbankan kepentingan ekologi dan hak asasi manusia.

“Melalui kemudahan berbisnis dan pelibatan publik yang minim, UU Cipta Kerja juga berkontribusi pada perampasan laut dengan adanya privatisasi sumber daya perikanan,” ungkap Miftachul.

Sebelumnya, KKP melarang penggunaan kapal eks-asing dengan kapal berukuran lebih dari 150 GT untuk menangkap ikan di Indonesia,melarang penggunaan cantrang,dan transhipment. Industri perikanan juga masuk dalam daftar negatif investasi. Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF) juga diberantas melalui kebijakan penenggelaman kapal dan pembentukan Satgas 115.

“Jika ingin memulihkan laut Indonesia, Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf seharusnya melanjutkan kebijakan yang sudah terbukti sukses. Tetapi, kebijakan progresif tersebut justru dicabut melalui Peraturan Menteri KKP No. 58/2020 yang membatalkan moratorium dan pelarangan transhipment,” jelasnya lagi.

Masih kata dia, melalui UU Cipta Kerja, penanaman modal asing pada sektor perikanan tangkap kembali diperbolehkan. Pasca kebijakan ini disahkan, terbukti terdapat peningkatan kapal-kapal di atas 30 GT dan tingkat eksploitasi laut meningkat.

“Privatisasi laut dilanjutkan dengan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang memberikan industri skala besar empat zona eksklusif untuk menangkap ikan. Melalui kuota, terdapat potensi nelayan lokal akan mendapat batasan untuk menangkap ikan,” bebernya.

“Penangkapan ikan memang harus dibatasi, tetapi seharusnya yang dibatasi adalah industri skala besar dan korporasi, bukan nelayan lokal. Selain itu, minimnya partisipasi publik kian menunjukan tidak ada keberpihakkan kepada nelayan lokal dalam perumusan PIT,” pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA