Dia menjelaskan, daÂlam melakukan pengukuran angka kemiskinan, pihaknya menggunakan metode pengeluaran per kapita berdasarkan komodiÂtas. Sedangkan World Bank menggunakan metode keÂseimbangan kemampuan berbelanja (
Purchasing Power Parity).
"Kami mengenakan batasan pengeluaran sebeÂsar Rp 401.220 ribu per bulan, itu berdasarkan hiÂtungan September 2018. Itu pendapatan per kapita, rata-rata keseluruhan," kata Kecuk di Jakarta, kemarin.
Kecuk menilai, kritik yang pernah disampaikan ekonom terkait data BPS tentang pengeluaran harian penduduk miskin sebesar Rp 13.000, tidak valid.
Sebab untuk melihat data perlu membandingkan data pengeluaran masyarakat anÂtardaerah. Misalnya, garis kemiskinan di DKI Jakarta sekitar Rp 3 juta per bulan. Jumlah itu tidak terlampau jauh dengan Upah Minimum Pegawai Rp 3,6 juta.
Kecuk menekankan data tidak boleh disalahgunakan tanpa telaah yang dalam. "Tantangannya adalah baÂgaimana kita mengkomuÂnikasikan garis kemiskiÂnan kepada masyarakat," ujarnya.
Untuk diketahui, berÂdasarkan metode
PurchasÂing Parity Power milik Bank Dunia, batas miskin yaitu apabila pengeluaran masyarakat sebesar 1,9 dolar AS. Sehingga, jika Indonesia mengkonversiÂkan penghitungan angka kemiskinan dengan metode tersebut, nilainya masih di atas standar 2,5 dolar AS.
Deputi Bidang StatisÂtik Sosial BPS Margo YuÂwono mengungkapkan, jika menggunakan metode Bank Dunia, angka kemiskinan paling parah Indonesia hanya sebesar 4,6 persen. Padahal, penghitungan BPS dengan metode BPS pengeÂluaran dan komoditas garis kemiskinan bisa mencapai 9,6 persen.
Namun, jika menggunaÂkan metode penghitungan World Bank mengacu pada standar kemiskinan moderat dengan batasan 3,2 dolar AS maka angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24 persen. "Kami harus meÂnentukan rujukan yang tepat untuk penghitungan angka kemiskinan," katanya.
Dia menuturkan, BPS selalu memperhatikan perkembangan dalam menghiÂtung angka kemiskinan sesuai dengan kajian emÂpiris. Metode penghitungan kemiskinan berdasarkan pengeluaran telah digunakan selama 20 tahun sejak 1998.
Inflasi 0,28 Persen BPS mencatat inflasi OkÂtober sebesar 0,28 persen. Hal ini berbanding terbalik dari kondisi deflasi dua buÂlan berturut-turut. PenyumÂbang inflasi terbesar berasal dari cabe merah, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan tarif sewa rumah. "Inflasi kelompok ini sebesar 0,42 persen dengan andilnya terhadap inflasi keseluruhan sebesar 0,1 persen," imbuh Kecuk.
Dipaparkannya, komoditas tarif sewa rumah memberi andil inflasi 0,03 persen, tarif kontrak rumah sebesar 0,01 persen. SekÂtor transportasi sebesar 0,06 persen. Hal ini terjadi karena ada kenaikan harga BBMnon subsidi. KemuÂdian sektor lainnya antara lain, kenaikan tarif jalan tol memberikan andil inflasi sebesar 0,01 persen.
Kenaikan semen dan besi beton memiliki andil 0,01 persen. Sektor transportasi, komunikasi, dan jasa keuanÂgan 0,26 persen. Makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau memiliki inflasi sebesar 0,27 persen. KelÂompok nasi dan lauk pauk dan rokok filter menyumÂbang andil terhadap inflasi sebesar 0,01 persen. Dan, bahan makanan 0,15 persen dan turut menyumbang inÂflasi sebesar 0,04 persen.
"Beberapa harga pangan yang mengalami kenaikan antarai lain cabe merah dengan andil 0,09 persen dan beras berikan andil sebesar 0,01 persen," pungÂkasnya. ***
BERITA TERKAIT: