"Ada pemborosan dari sisi belanja pemerintah pusat dan daerah. Bahkan di daerah, kami melihat 80 sampai 90 persen bukan untuk mendukung pemÂbangunan, tetapi habis untuk anggaran rutin," papar Ekonom senior Institute for DevelopÂment of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini di Jakarta, kemarin.
Dalam rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2019, alokasi belanja dipatok Rp 2.439,7 triliun. KomÂposisinya, Rp 359,3 triliun beÂrasal dari ngutang. Dari alokasi itu, anggaran belanja pegawai ditetapkan mencapai Rp 368,6 triliun atau naik sekitar Rp 26,1 triliun dibandingkan 2018.
Didik mencontohkan minimnya anggaran pendidikan dalam RAPBN2019 sebagai kurangnya keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. DisebutkanÂnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya mendaÂpatkan anggaran sebesar Rp 46 triliun dari yang direncanakan sebesar Rp 487 triliun.
Didik juga mengkritik pertumÂbuhan utang luar negeri yang terus membesar. Menurutnya, kendati utang itu akan dapat di roll over ke tahun-tahun berikutÂnya, tapi hal itu tetap saja akan membuat tingkat beban pembaÂyaran kewajiban utang menjadi tinggi. Konsekuensinya, dapat menggerus kemampuan ruang fiskal pemerintah ditengah penuÂrunan angka tax ratio.
"Utang luar negeri pemerintah semakin tidak efektif memÂbangun produktivitas nasional. Dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang semakin membesar," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Mulyadi Wijaya melihat strukÂtur RAPBN2019 sulit dibantah tidak mengandung political budget cycle.
"Siklus politik anggaran jeÂlang Pemilihan Presiden (PilÂpres) kentara ya. Itu tujuanÂnya untuk memperoleh simpati masyarakat," katanya.
Mulyadi memaparkan, anggaran pelayanan umum di tahun 2019 mencapai Rp 53,1 triliun. Jumlha itu naik dari tahun 2018 yang hanya Rp 49,8 triliun. Kemudian, anggaran sekÂtor ekonomi naik dari Rp 355,1 triliun menjadi Rp 389,3 triliun. Anggaran perumahan dan fasiliÂtas umum naik dari Rp 29 triliun menjadi Rp 33 triliun.
"Anehnya anggaran kesehaÂtan turun, harusnya kan naik. Padahal BPJS masih defisit," tuturnya.
Dari sektor perpajakan, Mulyadi menerangkan pemerÂintah memberikan insentif pajak. Padahal, risikonya bisa menguÂrangi pendapatan.
Mulyadi mencontohkan seperti penurunan pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Kemudian terdapat tax holiday hingga 100 persen yang tertuang dalam Permenkeu nomor 35/2018 bagi investor. ***
BERITA TERKAIT: