Ketua Umum Gabungan PenÂgusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman menÂgaku, nilai tukar rupiah saat ini membuat sektor industrinya kemÂbang kempis. "Jelas sangat berat karena dolar saat ini sudah menemÂbus Rp 14.500. Dampaknya sudah lebih dari itu," ujarnya usai Press Conference Food Ingredients Asia 2018 di Jakarta, kemarin.
Tahun lalu, pelaku usaha di sektor mamin sudah mengalami depresiasi 8 hingga 10 persen. Kondisi ini yang lantas membuat Gapmmi terpaksa menyesuaikan harga produk.
Saat ini, bahan baku mamin masih dipasok dari luar negeri sehingga biaya membengkak. Ditambah, tarif angkutan loÂgistik yang naik akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat.
Adhi mengungkapkan, libur nasional turut andil mengerek biaya produksi. "Pengeluaran perusahaan untuk tunjangan hari raya (THR) karyawan, tidak mampu dibarengi produktiviÂtas," tuturnya.
Adhi menyebut, pengusaha tak bisa seenaknya menaikkan harga produk lantaran butuh waktu sekitar dua bulan sebagai toleransi. Pihaknya akan meÂnyiasati dengan beberapa cara, di antaranya mengubah ukuran produk dan mengubah bahan bungkus produk.
"Situasi ini jadi tantangan industri. Omzet kami di periode pertama tahun ini hanya 30 persen, sementara pengeluaran kami mencapai 200 persen. Ini karena banyaknya libur di bulan Juni, kami harus bayar THR untuk karyawan, sementara produktivitas tak mengimbanÂgi," tukasnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap masyarakat tidak panik mendengar keperkasaan dolar AS. SeharÂusnya, pelaku ekonomi justru memanfaatkan momentum ini dengan meningkatkan ekspor.
Ketua Apindo Hariyadi SuÂkamdani menegaskan, kondisi rupiah saat ini lebih dikarenakan faktor eksternal. "Jangan sampai masyarakat panik. Menurut saya, ini bukan karena faktor fundaÂmental seperti krisis 1998. Ini yang harus disadari," ujarnya.
Hariyadi meminta, masyarakat agar tidak menundukkan kepala. Menurutnya, bukan hanya Bank Indonesia (BI) atau pemerintah yang bertanggung jawab atas fluktuasi ini. "Pelaku usaha dan masyarakat pun harus berupaya agar rupiah kembali bergairah," tegasnya.
Menurutnya, pelemahan mata uang garuda bisa diminimalisir. Beberapa cara di antaranya seperti meningkatkan ekspor, menarik lebih banyak pelancong berwisata, dan mengajak lebih banyak investor asing.
"Yang kaya gitu nggak boleh kendor, harus dikejar karena pemupukan cadangan devisa penting. Impor harus dikendaÂlikan, neraca dagang juga harus diupayakan surplus," katanya.
Bos Sahid itu menilai, upaya di atas bisa dilakukan dalam janga pendek. Dia menyontohÂkan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang bisa meningkatkan kinerja industri dengan cepat.
Dari industri pengolahan kakao, pemerintah bisa menÂdongkrak ekspor. Tentunya, harus dengan menjamin keterseÂdiaan bahan baku untuk industri dalam negeri.
Menurut Hariyadi, perjanjian dagang yang belum rampung bukan menjadi alasan. Sebab sampai saat ini, tidak sedikit industri yang belun memaksiÂmalkan potensi ekspornya. "Ini bukan hal yang tidak mungkin. Karena infrastrukturnya sudah ada, untuk menggenjot ekspor juga tidak begitu repot," ceÂtusnya.
Chief Market Strategist Forex Time (FXTM) Hussein Sayed memprediksi, bukan tidak mungÂkin rupiah menembus 14.500 per dolar AS dalam waktu dekat. Menurutnya, pelemahan ini dikarenakan peningkatan keteÂgangan perdagangan global.
Hal itu yang mengganggu ketertarikan investor terhadap rupiah. Sehingga, banyak dari mereka yang menarik dananya ke luar Indonesia. "Kekhawatiran yang semakin besar mengenai arus keluar modal yang memenÂgaruhi ekonomi Indonesia dapat semakin memperburuk keadaan rupiah," kata Hussein. ***
BERITA TERKAIT: