Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menjelaskan, program sejuta rumah milik Jokowi memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau proÂgram KPR bersubsidi dengan bunga sampai 5,5 persen perÂtahun dengan jangka waktu sampai 20 tahun.
Kemudian, harga jual rumah Rp 100 juta sampai Rp 135 juta untuk rumah tapak. Cicilan yang diharus dilunasi oleh MBR hanya Rp 825 ribu sampai Rp 1,1 juta perbulan. Dengan beÂgitu, sesuai dengan persyaratan bank masyarakat dengan pendaÂpatan Rp 3 juta perbulan masih bisa mencicil.
"Kalau rusunami yang dilunÂcurkan Gubernur Anies itu ciciÂlan minimal Rp 1,5 juta sampai Rp 2,6 juta. Artinya pendapatan minimal Rp 4,5 juta. Sedangkan UMR DKI Rp 3,6 juta. Jadi rusunami DP 0 rupiah itu bukan untuk masyarakat berpenghasiÂlan rendah tapi kelas menengah," katanya, kemarin.
Belum lagi nanti pemilik rusun akan dibebani dengan biaya lain-lain untuk perawatan banÂgunan yang biasa dikelola Pusat Pengelola Rumah Susun (PPRS). "Ketika kita bicara milik, maka peran pemerintah lepas pada pengelolaan. Artinya, bangunan akan dikelola pihak ketiga. Pada Rusunami biasanya PPRS yang mengelola," ujarnya.
Kemudian rencana Gubernur menanggung bunga pinjaman 5 persen pertahun maksimal 20 tahun dinilai melanggar permendagri No 21 Tahun /2011 sebagai perubahan kedua Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Yakni, Pasal 54A ayat (6) Permendagri itu memang menyebut penganggaÂran kegiatan tidak boleh melamÂpaui akhir tahun masa jabatan kepala daerah.
"Masa jabatan gubernur cuma lima tahun, sedangkan kreditnya 20 tahun. Lalu kelanjutannya pada tahun keenam seperti apa? Siapa yang akan menanggung bunganya? Gubernur harus buka aturan lagi jangan sampai salah dalam mengambil kebijakan," tegasnya.
Ketua Fraksi Partai Nasdem Bestari Barus mengatakan, pada filosofi konsep rumah susun sewa (Rusunawa) warga hanya perlu fokus memikirkan biaya sewa yang didalamnya sudah disubsidi pemerintah. Biaya sewa itu pun sudah termasuk dana perawatan yang dikelola langsung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta.
"Harusnya, Pak Gubernur meÂlihat perbandingan di Tambora, Jakarta Barat, dimana Rusunami yang bersebelahan dengan Rusunawa sangat timpang karena Rusunaminya hancur berjamur sedangkan Rusunawanya cantik terawat," ungkapnya.
Selain akan menimbulkan masalah baru, Anggota Komisi Pembangunan DPRD DKI itu juÂga mengingatkan bahwa konsep Rusun yang sesungguhnya adaÂlah sebagai inkubator memperbaiki kualitas ekonomi warga.
Artinya, setelah satu keluarga dapat memperbaiki perekonoÂmian dalam tenggat waktu terÂtentu ketika tinggal di Rusunawa bersubsidi, maka warga tersebut diharapkan dapat membeli peÂrumahan yang lebih mumpuni diluar Rusun.
"Jadi perlu dilihat konsentrasinya dulu. Kalau pemikiran dasarnya menyediakan rumah unÂtuk masyarakat kurang mampu, bagaimana kemudian menjadi Rusunami. Yang harus diingat adalah konsep rumah susun itu bukan untuk tinggal selamanya disitu," terangnya.
Menurutnya, peluncuran rusuÂnami DP 0 Rupiah hanya sebagai akal-akalan untuk memenuhi janji kampanye. Apalagi hal ini dilakukan mendekati 100 hari kerja. Padahal, skema pemÂbiayaan, siapa yang berhak mendapatkannya belum dirinci. Hal ini tentunya akan menimbulÂkan kekacauan.
Umbar JanjiSementara, Bank Indonesia (BI) mengingatkan calon kepala daerah agar lebih bijaksana dalam memberikan janji politik saat kampanye pilkada. Adapun janji kampanye yang disorot itu adalah program DP 0 persen yang digelontorkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno, serta program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan dengan DP 1 persen.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Sri Noerhidajati mengatakan tahun 2018 merupakan tahun politik yang biasanya digunaÂkan calon kepala daerah untuk melakukan kampanye yang menarik terkait perumahan.
"Dan mungkin saya sedikit komentar, bahwa tahun ini adaÂlah tahun politik yang biasanya untuk kampanye yang menarik adalah perumahan. Jadi saya ingat nih, BI dikejar-kejar soal DP 0," ungkap Sri.
Sementara di sisi lain, BI teÂlah mengeluarkan Peraturan BI Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Rasion Loan to Value (LTV).
Aturan ini mengenai syarat uang muka minimum yang harus disetorkan masyarakat saat menÂgajukan KPR. Contohnya, uang muka untuk rumah tapak dan rumah susun seluas 70 meter persegi adalah 15 persen.
Sementara untuk rumah tapak dan rumah susun seluas 22 meter persegi sampai dengan 70 meÂter persegi sebesar 10 persen. Namun demikian, Sri menjelasÂkan, aturan tersebut dikecualikan bila pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki kebijakan khusus.
"Di dalam Pasal 17 disebutÂkan bahwa program pemerintah pusat atau pemerintah daerah dikecualikan dari ketentuan LTV dengan memperhatikan ketenÂtuan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian," kata Sri. ***
BERITA TERKAIT: