"Kami tetap minta supaya Jogja ini dilanjut moratoriumnya (pembangunan hotel) sampai akhir 2017. Apakah diperpanjang atau tidak masih dikaji. Sudah terlalu banyak hotel," ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DI Yogyakarta, Istijab M Danunagoro dalam keterangannya, Senin (11/12).
Dari tingkat hunian, data Badan Pusat Statistik (BPKS) menunjukkan rata-rata hotel berbintang di Yogyakarta hanya 50 persen, non bintang 30 persen.
"Jadi di bawah rata-rata, kalau sudah 70 atau 80 persen sih kami setuju saja," jelasnya.
Istijab menyebutkan, setidaknya ada tiga musim wisatawan di Yogyakarta.
Low session terhitung mulai Januari - April. Memasuki bulan Mei sampai Desember disebut
high session dan
peak-nya atau puncak pada libur lebaran dan tahun baru.
"Lalu kalau ada l
ong weekend. Ini kita lagi menunggu-nunggu
event tahun baru, gongnya di tahun baru dan natal," imbuhnya.
Akses wisatawan lokal dan luar negeri mengandalkan bandara Internasional Adi Sucipto. Sebagian dari wisatan asing itu lewat Kuala Lumpur dan Singapura. Sedangkan dari Jepang, Korea, Tiongkok, dan Belanda belum diberikan akses karena sudah o
verload di bandara Adi Sucipto.
Menurut dia, pembangunan Kulonprogo akan membantu peningkatan masuknya wisatawan mengingat Adi Sucipto sudah terlalu padat.
"Sering mutar-mutar dulu (pesawat) di atas setengah jam karena penuh. kedua juga dipakai latihan terbang AURI dan juga sekolah penerbang, jadi kadang-kadang tidak bisa langsung masuk," bebernya.
Ia berharap masalah ini dapat teratasi dengan segera dibukanya Bandara Kulonprogo.
"Kalau dibuka bisa masuk, sehingga bisa mengisi kamar-kamar hotel yang ada di Yogyakarta," ujarnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: