Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Suparno menegaskan, pihaknya sudah memasang rambu-rambu bagi koperasi simpan pinjam unÂtuk mencegah terjadinya praktik pencucian uang. Sebab, sudah ada Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No.06/PER/M.KUKM/ V/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam. Beleid ini salah satunya bertujuan menceÂgah dan melindungi koperasi dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
"Ini karena modus kejahatan di industri jasa keuangan dan koperasi semakin beragam seiring perkemÂbangan teknologi dan informasi," ucap Suparno pada acara sosialisasi bertema Pencegahan dan Penindakan Investasi Ilegal Tindak PiÂdana Pencucian Uang (TPPU) dan Pendanaan Teroris Bagi Koperasi, di Jakarta, Senin (11/9).
Acara ini dihadiri Ketua Bimbingan Pihak Pelapor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Hendri Hanafi, Ketua Tim Waspada InÂvestasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam Lumban Tobing, dan para pengurus koperasi simÂpan pinjam (KSP).
Sebagai anggota komite TPPU, lanjut Suparno, Kemenkop dan UKMbertanggung jawab turut menjaga nama untuk memenuhi rekomendasi yang disampaikan
FiÂnancial Action Task Force (FATF). "Untuk itu, kami sudah melakukan beberapa upaya. Di antaranya, penandatanganan MoU pencegahan pencucian uang dengan PPATK pada 17 Oktober 2016, kerja sama pelatihan dengan PPATK di beÂberapa daerah bagi koperasi yang mempunyai kegiatan usaha simpan pinjam," kata Suparno.
"Kita juga telah melakukan kegiatan sosialisasi Permenkop ini di tiga tempat, yaitu Jambi, Tasikmalaya, dan Jember," imÂbuh Suparno.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bimbingan Pihak Pelapor PPATK Hendri Hanafi menjelasÂkan, modus pencucian uang di bank dan koperasi nyaris tidak berbeda. Hanya saja, karena di bank sudah terintegrasi secara information technology (IT) maka lebih mudah memantaunya. Sedangkan di koperasi, banyak yang belum menerapkan IT, sehingga mempersulit pelacaÂkan. "Oleh karena itu, PPATK akan terus mengedukasi pelaku usaha koperasi agar jangan mau dijadikan sebagai alat atau wadah pencucian uang," kata Hendri.
Ketua Tim Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing menambahkan, untuk mencegah koperasi masuk dalam kategori investasi bodong dan pencucian uang, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, legalitas koperasi di mana koperasi harus memiliki izin usaha sesuai dengan bidang usahanya. Misalnya, KSP atau unit simpan pinjam. Kedua, harus sesuai dengan prinÂsip-prinsip koperasi berdasarkan hasil keputusan rapat anggota tahunan (RAT). Jadi, tidak boleh ada usaha lain di luar keputusan RAT. "Ketiga, koperasi harus fokus untuk kesejahteraan angÂgotanya, jangan keluar dari fokus ke anggota," pungkas Tongam.
Biro Travel Abal-abal Sebelumnya, Satgas Waspada Investasi ini juga memaparkan pihaknya menemukan sekitar 25 perusahaan agen travel dan umrah yang memiliki modus yang hamÂpir mirip dengan First Travel.
"Ada beberapa laporan berÂdasarkan aduan masyarakat. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag), setidaknya ada sekitar 25 perusaÂhaan travel umrah yang tidak ada izin tapi menginduk dengan yang punya izin. Saat ini masih kami telusuri," kata Tongam di acara pelatihan wartawan di Bogor, Jawa Barat, Minggu (10/9).
Dalam menindaklanjuti hal tersebut, pihaknya meminta KeÂmenag untuk melakukan upaya preventif dengan memanggil perusahaan travel umrah terseÂbut. Satgas terus berkoordinasi dengan Kemenag dalam memitiÂgasi risiko dengan memanggil perusahaan umrah.
"Jadi contohnya, PT AperuÂsahaan umrah tanpa izin mereka menerima jemaah umrah agen lain, dengan menjanjikan biaya yang lebih murah. Ini yang sanÂgat berpotensi merugikan masyarakat. Umrah dengan harga promo ini tidak masuk akal," tegas Tongam.
Menurut Tongam, sejak awal Satgas Waspada terus berupaya melakukan pencegahan terhadap modus perusahaan yang berÂpotensi merugikan masyarakat. Untuk itu, Tongam menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menanggung kerugian akibat investasi ilegal, lantaran hal terseÂbut tidak ada dasar hukumnya.
Terkait dengan kasus First Travel, Tongam mengatakan semua pihak ada baiknya mengÂhormati dan menunggu proses peradilan yang sedang berjalan.
"Bareskrim sudah menyita aset-asetnya, sehingga nanti pengembalian asetnya terganÂtung pada putusan pengadiÂlan nanti. Kami berharap akan harapan pengembalian dana ke nasabah. Sebab, dalam kasus peÂnipuan, jarang sekali dana nasaÂbah kembali 100 persen, karena dananya sudah dihabiskan oleh si pelaku," kata Tongam.
Ia juga menjelaskan, nasabah juga sudah memohonkan peÂnundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan niÂaga. Apabila tidak berhasil perÂdamaiannya, maka First Travel dapat berujung pailit. "Saat ini yang perlu dilakukan adalah menghormati proses hukum dari First Travel," kata Tongam.
Terkait hal ini, kepolisian meÂminta pemerintah menetapkan aturan standar biaya perjalanan umrah yang bisa diterapkan oleh agen perjalanan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir JenÂderal Pol Rikwanto mengataÂkan, standardisasi biaya umrah dilakukan agar penegak hukum bisa memindai agen perjalanan yang terindikasi tidak beres. Dengan begitu, tindakan peÂnyelewengan dana calon jemaah umrah seperti yang dilakukan First Travel tidak terjadi lagi.
"Kami minta stakeholder agar mengatur standar minimal biaya umroh yang jelas, biar tidak ada kebingungan. Tentu ini pun harus berdasarkan perhitungan yang akurat," ujar Rikwanto. ***
BERITA TERKAIT: