Demikian disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat pembukaan Kongres Kehutanan Indonesia VI, kemarin. Dia bilang, masyarakat daerah dan pejabat daerah kurang perhatian terhadap kelestarian hutan.
"Akibatnya, kebakaran, banjir di mana-mana, dan tanah longÂsor. Dan kita, baru sadar akan pentingnya hutan setelah terÂjadinya musibah," kata JK.
JK mengaku sedih dengan terus berkurangnya lahan hutan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Menurut dia, dari sekitar 150 juta hektare lahan perhutanan yang dimiliki Indonesia pada 1955, saat ini yang tersisa kurang dari 90 juta hektare.
"Selain karena kurangnya kepedulian masyarakat dan peÂjabat daerah, ada banyak faktor lain yang jadi penyebab kenapa hutan kita berkurang sampai sekitar 40 persen atau mungkin 50 persen dari 150 juta pada tahun 1950-an. Dan yang saya maksud ini adalah hutan riil, bukan hutan yang terdaftar," ujarnya.
JK juga menilai, ada keunÂtungan besar yang bisa diraup dari pengelolaan sumber yang terkadung dari dalam hutan. Tapi sayangnya, orang-orang yang sudah meraup banyak keÂuntungan justru melupakan huÂtan sampai akhirnya terjadinya sebuah bencana.
"Contohnya sawit, bisnis sawit maju karena hutan dibabati. Tetapi karena pengusaha tidak mereboisasi kembali hutan yang mereka buka," kata JK.
Selain itu, kata JK, banyak juga pengusaha yang memiÂliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tapi justru menjualnya ke para konglomerat hutan. Tetapi setelah mereka bangga dengan menjadi pengekspor kayu, triplek dan sebagainya, justru lupa dengan hutan.
"Ini ironis! Mereka sukses sebagai pengusaha kayu, yang harga hanya lima dolar per kubik. Tapi seperti inilah yang kita hadapi, banjir dan panas di Kalimantan, Sumatera dan sebagainya," ujarnya.
Lebih jauh, Wapres juga meÂnyentil sikap pejabat daerah yang masih banyak tidak peduÂli dengan kelestarian hutan. Padahal, setelah mengeluarkan izin usaha pertambangan, merÂeka mendapat fee dari perusaÂhaan yang mengelola tambang di daerahnya.
"Namun, fee tersebut tidak mereka gunakan untuk memperÂbaiki kondisi hutan yang rusak di daerah. Hutan mereka biarÂkan tetap gundul dan tidak bisa menyerap air, sampai akhirnya terjadi banjir," ujarnya.
Oleh karena itulah, JK mengÂharapkan, melalui kongres ini semua pemangku kebijakan bicara mengenai hutan. Kongres ini jangan hanya sekadar rapat tetapi menghasilkan solusi yang nyata untuk memperbaiki lahan kritis, sekaligus menambah luas areal hutan menjadi setidaknya 100 juta hektare.
"Saya ingin pertemuan ini sama dengan (pertemuan di) Maracas, implementasi. Siapa tanggung jawab siapa, apa dia buat apa, kapan, dan jangan lagi berdefinisi. Definisi hutan adaÂlah, semua tahulah. Pokoknya bagaimana hutan bertambah dan akibatnya banjir berkurang. Itu saja, tidak usah pikir yang macam-macam," tegasnya.
JK mengatakan sesungguhnya cara mudah untuk mencegah banjir sekaligus meningkatkan luasan hutan, yaitu dengan moraÂtorium (menghentikan semenÂtara) pemberian izin pengelolaan hutan dan menanami kembali hutan yang sudah rusak.
"Itu (moratorium) harus diÂlakukan. Tidak menambah (izin) kecuali untuk hutan industri. Kedua, tentu kita harus, kalau jaman dulu reboisasi, penghiÂjauan. Jadi, upayanya jelas, larang dan tanam kembali. Itu saja," katanya.
Selain itu, JK meminta seluÂruh kepala daerah untuk berani mengambil sikap tegas dengan tidak mengeluarkan izin penÂgelolaan hutan baru dan meminta pengusaha pertambangan menuÂtup dan menghijaukan kembali lahan bekas tambang.
"Pertambangan kembali harus mempunyai kewajiban. Begitu tutup harus tanam kembali. Kalau tidak tanam kembali, suÂlitnya begitu turun, tinggalkan hutannya tinggalkan lobang. Kembali lagi pak gubernur harus tegas di daerah, apalagi di bawah itu ada bupati lagi," ujarnya. ***
BERITA TERKAIT: