Pengusaha Minta Keran Ekspor Bauksit Dibuka

Hilirisasi Nggak Beri Keuntungan

Senin, 17 Oktober 2016, 09:20 WIB
Pengusaha Minta Keran Ekspor Bauksit Dibuka
Foto/Net
rmol news logo Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai program hilirisasi tambang oleh pemerintah cuma retorika belaka. Sebab, hilirisasi bijih bauksit menjadi alumina sekarang tidak memberikan keuntungan. Pengusaha minta ekspor bauksit dibuka lagi.

Ketua APB3I Erry Sofyan mengatakan, saat ini tidak terdap­at industri yang siap untuk meny­erap produksi bauksit. Sementara, pembangunan pabrik pemurnian bauksit berbeda dengan mineral lain pada umumnya.

"Kajian APB3I menemu­kan beberapa kendala untuk membangun pabrik pemurnian bauksit, di antaranya adalah pembiayaan yang sangat be­sar, mencapai triliunan rupiah, teknologi yang belum dipunyai oleh Indonesia dan sumber daya manusia yang masih perlu di­latih," ujarnya, kemarin.

Menurut dia, pembangunan pabrik pemurnian yang dipak­sakan tanpa perencanaan dan persiapan memadai seperti yang terjadi saat ini, membuat industri bauksit banyak dikuasai oleh pihak asing.

Anggota APB3I Peng Tjoan mengatakan, kebijakan pemer­intah yang mewajibkan pem­bangunan pemurnian bauksit menjadi alumina tidak tepat karena hanya berdasarkan reto­rika semata. Ia menilai kebijakan tersebut tidak didasarkan kajian ekonomis.

"Banyak pihak yang tidak memahami bahwa membuat 1 ton alumina selain dibutuhkan bauksit juga dibutuhkan caustic soda, energi, mesin dan lain­nya," katanya.

Total biayanya mencapai seki­tar 300-350 dolar AS per ton. Padahal harga jual alumnia 10 tahun terakhir rata-rata 300-320 dolar AS per ton.

Menurutnya, hilirisasi sebe­narnya baik karena dapat men­ingkatkan nilai tambah. Namun, hal itu jangan retorika semata, tetapi harus dikaji perhitungan ekonominya. "Kita harus real­istis, jangan hanya idealis saja. Jangan coba melawan hukum ekonomi," tukasnya.

Rawan Gugatan


Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi menilai, aturan relaksasi ekspor konsentrat berpotensi digugat di World Trade Organization (WTO) atau organisasi perda­gangan dunia. Aturan ini juga rawan digugat investor asing ke lembaga arbitrase internasional dengan menggunakan mekan­isme International Centre for Settlement of Investment Dis­putes (ICSID)

Menurut dia, relaksasi ekspor mineral mentah akan dibuka kembali oleh pemerintah akan menimbulkan perlakuan dis­kriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di In­donesia. Belum lagi, pengenaan pajak ekspor pada persentase tertentu yang ada di dalam ke­bijakan relaksasi teridentifikasi sebagai export restriction atau ekspor sukarela dalam konteks non-tariff barriers.

"Ketika kebijakan larangan ekspor konsentrat diterapkan, In­donesia diprotes keras di WTO, bahkan pernah digugat ke ICSID oleh Newmont," ujarnya.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah Ismail men­egaskan, relaksasi ekspor min­eral mentah berpotensi meng­hilangkan pendapatan dari nilai tambah pembangunan smelter. Dalam konteks ini, kata dia, Freeport Indonesia akan sangat diuntungkan.

"Pemerintah mesti mening­galkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan pengu­rasan kekayaan alam dan men­gancam keselamatan rakyat," tandasnya.

Untuk diketahui, ekspor min­eral mentah sudah dilarang sejak 11 Januari 2014 silam atau lima tahun sejak diundangkanya Undang-Undang Minerba. Na­mun pemerintah masih memberi kesempatan bagi mineral hasil pengolahan alias konsentrat untuk diekspor hingga 2017. Ba­tas waktu selama tiga tahun itu agar pelaku usaha bisa memiliki waktu yang cukup untuk mem­bangun smelter.

Pada 11 Januari 2017 merupa­kan batas akhir izin ekspor kon­sentrat tersebut. Artiannya hanya mineral hasil pemurnian saja yang diizinkan ekspor. Namun hingga jelang pemberlakuan kebijakan tersebut pembangu­nan smelter belum signifikan. Ada yang baru mencapai 30 persen bahkan ada yang berhenti proyeknya. Hal itu disebabkan oleh lemahnya harga komoditas pertambangan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA