Rencana Kenaikan Harga Rokok Tinjau Lagi Dong

Rabu, 28 September 2016, 09:33 WIB
Rencana Kenaikan Harga Rokok Tinjau Lagi Dong
Foto/Net
rmol news logo Kenaikan harga rokok har­us pertimbangkan daya beli masyarakat. Harga rokok yang tinggi membuat rokok ilegal akan menjadi primadona.

Polemik kenaikan harga rokok yang belum berhenti membuat banyak pihak bicara. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mem­berikan masukan agar pemerin­tah bersikap lebih cermat dalam menaikkan cukai rokok.

Menurutnya, pemerintah mengkaji secara matang dalam merencanakan kenaikan harga rokok serta cukai. Kesalahan dalam menentukan kebijakan, ingat Enny, akan berimbas me­luas. Bukan hanya akan men­ganggu aspek ekonomi, namun juga aspek kesehatan.

"Kalau hanya melihat dari satu aspek, tentu tidak akan efektif mencapai tujuan utama. Tetapi bisa jadi malah kon­traproduktif. Di sini persoalan­nya bukan suka atau tidak suka untuk merokok, tetapi harus ada kebijakan yang efektif dan pasti, sesuai pengendalian rokok serta prinsip cukai," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, polemik harga rokok bermula dari pe­nelitian Prof Hasbullah Thabrany dari Universitas Indonesia yang dipublikasikan akhir Agustus lalu. Menurut hasil penelitian­nya, responden dalam peneliti­annya akan berhenti merokok ketika harga rokok mencapai Rp 50 ribu.

Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun dibuat kewalahan untuk melakukan klarifika­si. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi dalam beberapa kesempatan menyam­paikan bahwa kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu itu cukup tinggi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyatakan, bahwa Pemerintah akan melakukan penyesuaian kebijakan cukai, sesuai Undang-Undang Cukai dan juga APBN2017 yang hingga saat ini masih dikonsul­tasikan dengan berbagai pihak. Lalu kapan harga cukai rokok baru akan diumumkan? "Akhir September," jelas Heru.

Pemerintah memang harus hati-hati memutuskan. Menurut Enny, Industri tembakau meru­pakan salah satu industri strat­egis bagi Indonesia. Pasalnya, industri ini masih menjadi salah satu penyumbang terbesar pen­erimaan cukai negara.

"Kontribusi cukai rokok itu sangat besar, 70 â€" 80 persen harga rokok itu untuk peneri­maan pajak, baik itu cukai, pajak langsung ataupun juga pajak daerah. Tidak ada satu industri pun yang dapat menggantikan kontribusi dari industri rokok," tambahnya.

Di sisi lain, Enny menegaskan kenaikan harga rokok yang ter­lampau tinggi akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sebab, frekuensi permintaan masyarakat untuk mengkon­sumsi rokok masih sangat tinggi. Alhasil, masyarakat akan memi­lih produk yang lebih murah. Nantinya, kata dia, hal tersebut malah memicu meningkatnya produksi rokok ilegal.

"Idealnya, kenaikan tarif cu­kai adalah sesuai dengan tingkat inflasi yaitu di kisaran 5 persen atau paling tinggi sesuai dengan persentase kenaikan target pen­erimaan negara dari cukai untuk tahun 2017, yaitu sebesar 6 pers­en. Hal ini demi menghindari munculnya masalah-masalah baru," tambahnya.

Karena itu, Enny meminta pemerintah mengkaji secara berimbang dampak kenaikan harga rokok. Tidak hanya daya beli masyarakat, pemerintah juga harus mengkaji aspek pen­erimaan negara.

Dengan tingkat cukai yang cukup tinggi, Enny menjelaskan, peredaran rokok ilegal pun ikut melambung signifikan di pasaran. Persoalan ini, menurut dia, bukan sebuah proyeksi. Namun sudah terjadi ketika pemerintah menai­kkan cukai secara masif dalam beberapa tahun terakhir ini.

"Daya belinya masih terbatas, sehingga insentif orang untuk membeli rokok ilegal itu juga semakin tinggi. Pertumbuhan rokok ilegalnya juga meningkat secara signifikan, dari 6 persen sampai 8 persen, sekarang sudah sampai belasan persen," tambah Enny. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA