Sementara itu, garam lokal masih memiliki persoalan spesifikasi yang belum sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini dibenarkan Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Toni Tanduk. Ia mengakui, kualitas garam lokal Indonesia masih sangat rendah dan impuritis (kotoran) tinggi.
"Hasil produksi garam lokal hanya dapat digunakan untuk konsumsi, sedangkan untuk industri belum dapat digunakan karena kualitas rendah," papar Toni dalam diskusi ekonomi, di Jakarta, Senin,(26/9).
Dia menambahkan, penggunaan garam paling besar adalah di industri petrokimia. Seperti pembalut wanita (softex) dan popok bayi, adalah contoh produk yang menggunakan komponen garam. Ada juga industri bahan baku tekstil dan pulp (kertas) yang melakukan proses bletching (pemutihan) menggunakan garam. Tercatat, rata-rata industri kimia menggunakan 2,03 juta ton garam per tahun.
"Kalau kita lihat tren industri petrokimia, penggunaan garam cukup besar di Indonesia," terangnya.
Dalam garam, terdapat dua komponen penting, yaitu natrium dan klorida. Terutama sekali natrium, penggunaannya paling besar untuk industri di Indonesia.
Industri pangan Indonesia juga memiliki kebutuhan garam yang besar, sekitar 450.000 ton per tahun.
"Bisnis pengolahan garam adalah bisnis miliaran dollar. Memang isu ini menjadi sensitif ketika dikaitkan dengan hasil garam lokal kita," kata dia.
AIPGI mengusulkan agar pemerintah melakukan percepatan produksi melalui program ekstensifikasi di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang merupakan kantong produksi garam di Indonesia. Juga, pembentukan tim monitoring untuk survei produksi dalam negeri.
[ald]
BERITA TERKAIT: