Dicurigai Kemenkes Kecipratan Aliran Dana Industri Farmasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 26 September 2016, 11:33 WIB
rmol news logo Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa ada aliran dana Rp 800 miliar dari industri farmasi ke para dokter.

Belum lagi fakta bahwa ada 18 lembaga penerima kucuran dana dari Bloomberg Initiave untuk kampanye antitembakau seperti ICW, YLKI, sejumlah perguruan tinggi, Kementerian Kesehatan, dan sebagainya hingga ratusan miliar rupiah. Ini sudah selayaknya menjadi bahan referensi untuk mendalami suap menyuap di industri farmasi.

Pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno, Salamudin Daeng menilai, selama ini, para dokter sudah seperti marketing perusahaan farmasi. Konsumen, seringkali tidak bisa berkutik, tidak bisa menolak satu resep yang direkomendasikan dokter dengan merujuk obat milik industri farmasi tertentu.

Daeng menjelaskan, selama ini, setiap penjualan obat ke pasien dikembalikan lagi beberapa persen sebagai fee untuk para dokter dan hal itu sudah berlangsung lama.

"Selama ini kita diarahkan untuk membeli obat tertentu, kita tidak punya kuasa untuk menolak apa yang harus kita beli," tegas Daeng sat dihubungi.

Dalam bahasa bisnis, kata Daeng, saat ini dokter sudah menjadi marketing- nya para perusahaan farmasi dan rumah sakit hanya jadi toko obat. Ini diperparah dengan orientasi kesehatan masyarakat yang masih sempit seputar kesehatan sehingga menjadi objek industri farmasi.  

"Pekerjaan dokter itu baik, berdagang itu baik, tetapi gabungan pekerjaan dokter dan berdagang adalah pekerjaan yang paling buruk di dunia. Itu diucapkan almarhum prof Raden Mochtar. Sementara pengusaha tembakau kan cuma pedagang saja," kata Daeng.

Terkait aliran dana, menurut Daeng harus ditelusuri lebih jauh lagi karena bukan tidak mungkin juga Kemenkes kecipratan. Kalau ada aliran duit jumbo seperti itu, apalagi ke dokter, bisa diperiksa apakah mengandung penyalahgunaan profesi. Kedua,  ditelisik lebih jauh ke Kemenkes.

"Kita kan tidak tahu, tapi tidak mungkin kosong, lah. Kalau dokter salah gunakan profesi sementara Kementerian Kesehatan, penyalahgunaan kekuasaan, tapi harus ada bukti dan ditelusuri, meski fakta di lapangan saat ini biaya dan obat-obatan obatan sudah mencapai langit ke tujuh," sindir Daeng.

Ia mengingatkan, kecurigaan ke Kemenkes beralasan karena lembaga itu juga seringkali menjadi perpanjangan indurstri farmasi. Kemenkes saja, ia cermati seringkali tidak taat DPR dan presiden. Misal di kebijakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang seringkali mendahului presiden.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA