"Kita melihat pembelian alumina sekali jalan (
spot) ini patut dicurigai," Ketua dan Sekretaris Masyarakat Untuk Transparansi Informasi (MUTI) Sumut, Alfan Sihombing,SH dan Bernard Siahaan,ST kepada wartawan, Kamis (26/3).
Menurut data diperoleh MUTI Sumut, kata Alfan, proses pembelian alumina
spot itu tertuang dalam perjanjian jual beli No: SWC-RM-14-1303-4 antara PT Inalum (Persero) dengan Karinya Trading PTY LTD, perusahaan Australia. Dalam perjanjian itu, disepakati pembelian alumina sebanyak 27 ribu metrik ton. Barang dikirim ke Pelabuhan Kuala Tanjung pada Oktober 2014. Sesuai Pasal 7 perjanjian, harga disepakati per metrik ton 330 Dollar Amerika. Jika kurs Dolar AS Rp12 ribu, maka total pembelian Rp106 miliar.
Namun, yang menjadi persoalan spesifikasi produk alumina perusahaan Karinya itu tidak sesuai dengan standar spesifikasi Inalum yang ditenderkan dan telah puluhan tahun digunakan selama ini oleh bagian produksi pabrik smelter Inalum.
"Tapi, mengapa alumina dari Karinya dengan spesifikasi yang berbeda jauh dari maksimal spesifikasi standar produksi smelter Inalum selama ini tetap dibeli juga oleh bagian pengadaan Inalum? sementara kebutuhan bagian produksi Inalum berbeda spesifikasi aluminanya? Hal ini mencurigakan. Ada apa sebenarnya," kritiknya.
Perbedaan spesifikasi alumina itu antara kebutuhan bagian produksi Inalum, spesifikasi tender alumina, LOI (300-1000) maksimal 0.9, SIO2 max 0.015, Fe2O3 max 0.012, TiO2 max 0.005, Na2O max 0.4, CaO max 0.03. Sementara dari perusahaan Karinya yang dibeli oleh bagian pengadaan inalum, LOI (1000) maksimal 1, Na20 max 0.55, CaO max 0.055, SiO2 max 0.025, Fe2o3 max 0.020 dan TiO2 max 0.007. "Dan sejumlah spesikasi yang berbeda lainnya," imbuhnya.
Dari perbedaan tersebut, lanjut Alfan, pantas dicurigai langkah Inalum tetap mengambil alumina dari perusahaan tersebut yang jelas-jelas berbeda spesifikasinya dengan yang dibutuhkan bagian produksi inalum.
"Kemudian apakah layak harga yang disepakati tersebut untuk kualitas tersebut USD 330 per MT? pasaran harga alumina itu berkisar USD 100 per MT - USD 500 per MT," tanyanya.
Untuk itu, menurut dia, aparat hukum harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan ini.
"Kita tidak mau pasca diambil alih dari Jepang, perusahaan yang sudah menjadi BUMN itu malah menjadi tidak bagus. Harusnya bertambah bagus. Apalagi negara sudah menggelontorkan sekira Rp 7 triliun membeli saham dari korporasi Jepang di tahun 2013 lalu," tegasnya
.[wid]
BERITA TERKAIT: