Kebijakan Cukai Pemerintah Tidak Rasional, Harus Dievaluasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 16 Maret 2015, 14:50 WIB
Kebijakan Cukai Pemerintah Tidak Rasional, Harus Dievaluasi
rmol news logo Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat, jumlah penerimaan bea masuk, cukai dan bea keluar hingga akhir Februari 2015 hanya mencapai 70 persen dari target.

Khusus untuk cukai dari target Rp 24,3 triliun hanya tercapai Rp 17,3 triliun.

Atas kinerja buruk tersebut, Direktur Institute for Development of Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, penurunan penerimaan cukai di triwulan I menandakan pemerintah harus mengevaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan cukai, utamanya cukai atas rokok. Pasalnya, pemerintah mendapatkan 80 persen lebih cukai berasal dari industri hasil tembakau alias rokok.

"Konsumsi rokok, kan inelastis, permintaan tetap tinggi tetapi penerimaan cukai justru turun drastis," tegasnya saat dihubungi di Jakarta, belum lama ini.

Soal rencana menerapkan cukai ganda dalam kurun waktu satu tahun juga dinilai Enny kurang tepat. Akan lebih baik kebijakan cukai yang ada dievaluasi total karena ada disparitas tinggi antar golongan sehingga memicumoral hazard.

"Pemerintah sah saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai sistem cukai baru tetapi realitasnya penerimaan turun. Masa' mau tutup mata terus," kritik Enny.

Menurut dia, kalangan industri termasuk industri hasil tembakau (IHT) ini sudah patuh membayar pajak dan cukai. Namun, pemerintah justru menekan terus dengan kebijakan yang tidak rasional, seperti menaikan cukai tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi. "Tidak seharusnya pemerintah menaikkan cukai tinggi-tinggi sementara ada masalah dengan daya beli," tegas Enny.   

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran sepakat dengan Enny, tidak tercapainya target cukai merupakan bukti pemerintah mengabaikan faktor rill di lapangan. "Pemerintah mestinya realistis. Seringkali pemerintah berargumen bahwa data menentukan kebijakan. Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah, sehingga terkesan industri jadi target buru pemerintah," ujar dia.  

Ia juga mengkritik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 Tahun 2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai Untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.

PMK tersebut dinilai memberatkan lantaran pengusaha harus selalu menyediakan 'fresh money' bisa-bisa pabrik rokok gulung tikar.   "Cukai itu kan sekarang sudah hampir 50 persen, jika dibayar tiga bulan sekaligus mencapai 150 persen. Pembayaran cukai bisa senilai investasi pabriknya, bisa-bisa banyak yang bangkrut," keluhnya.

Menurut Ismanu, industri juga perpanjangan tangan pemerintah sebagai collector cukai untuk kemudian disetorkan. Nah, hal itu perlu waktu karena sebaran pendistribusian barang dari Sabang sampai Merauke. Misal dalam satu transaksi baru tuntas hingga tiga bulan.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA