Mengingat Indonesia masih endemis hepatitis tertinggi di dunia, suntikan vaksin uniject perlu digalakkan lagi. Suntikan vaksin ini diharapkan bisa jadi solusi untuk mengatasi bahaya penyakit hepatitis B.
Biaya program pemberian vakÂsinnya relatif lebih murah diÂbanding alat suntik dispoÂsable, di Puskesmas. Hingga kini, pembeÂrian vaksin hepaÂtitis B untuk baÂyi yang baru lahir belum memeÂnuhi sasaran peÂnanggulangan.
Kepala Lembaga Biologi MuÂleÂkular Eijkman Jakarta Prof David Handojo Mulyono meneÂgaskan, kampanye pemberian vaksin ini perlu diterapkan agar Indonesia bisa keluar dari enÂdemis penyakit berbahaya ini.
“Kalau Indonesia tetap dan terus menerapkan vaksin uniject ini, negara kita akan menjadi pelopor dan bebas dari wabah hepatitis B,†kata David kepada Rakyat MerÂdeka di Jakarta, SeÂlasa (31/1).
Pemberian vaksin uniject unÂtuk kalangan masyarakat meÂnengah ke bawah diharapkan bisa juga menyentuh wilayah peÂlosok maupun pedesaan. MenuÂrut dia, pemberian vaksin ini lebih efisien jika diberikan pada saat bayi yang baru lahir.
“Lebih baik jika diberikan paÂda bayi yang baru lahir. Efeknya terÂlihat sekitar lima atau 10 taÂhun,†ungkap profesor yang gemar meneliti ini.
Keunggulan dari alat suntik uniject ini adalah dapat meÂningÂkatkan cakupan imunisasi pada bayi.â€Bayangkan memberikan vaksin ini kepada lima juta lebih bayi yang baru lahir, maka akan berapa banyak generasi peÂnerus yang terseÂlamatkan,†tambah David.
Suntikan dan vaksinnya diÂkemas lebih praktis dan efisien. Alatnya lebih aman, sekali paÂkai langÂsung dibuang. AlatÂnya relatif kecil dan dapat diÂbawa ke maÂna-mana dan mudah mengÂÂgunÂakanÂnya.
Di dalam uniject terdapat vakÂÂsin H-B dan jarum suntik, tinggal meÂmencetnya untuk memberiÂkan vakÂsinasi.
“Yang perlu diÂperÂtimÂbangÂkan adalah agar vakÂsin ini leÂbih makÂsimal di peÂdesaan atau peÂloÂsok meÂngingat mereÂka leÂbih mengÂandalÂkan perÂsaÂlinan keÂpada bidan atau dukun baÂyi,†jelas David.
Dia mengakui, pengetahuan meÂreka terhadap vaksin uniject masih terbatas dan belum meÂnyenÂtuh hingga ke pelosok tanah air. Bidan atau dukun bayi di desa-desa masih belum paham apa itu vakÂsin uniject ditambah keÂterÂseÂdiaannya yang belum memadai.
“Program ini belum meÂnyenÂtuh ke arah sana. Padahal, ini saÂngat penting,†kata David yang juga meneliti untuk WHO ini.
Berdasarkan penelitian UniÂversitas Diponegoro tahun 2003, penolong persalinan non tenaga kesehatan seorang bayi saat meÂlahirkan tidak ditolong tenaga non kesehatan mempuÂnyai risiko bayinya tidak divakÂsinasi HB-1 umur 7 hari sebeÂsar tiga kali dibanding ibu yang saat melaÂhirkan ditolong tenaga keÂsehatan.
“Kita ingin trial (percobaan) lebih dulu. Untuk satu tahun pertama akan diberikan vaksin uniject secara gratis kepada seÂluruh masyarakat. Selanjutnya, kita lihat perkembangannya dalam lima tahun ke depan, apakah akan memberikan efekÂnya. Kalau ya, akan diupayakan dalam cakupan yang lebih beÂsar,†terang David.
Saat ini, David mengaku seÂdang mengupayakan agar vakÂsin uniject bisa disosiaÂlisaÂsikan bahkan dilaksanakan tahun ini.
“Kami terus mengupayakan penggunaan vakÂsin uniject keÂpada Menteri Kesehatan mauÂpun pihak BUMN untuk terus memÂproÂduksi ini,†harap guru besar tidak tetap Universitas Hasanudin ini.
Tahun 2004, vaksin uniject recombinant DNA yang diproÂduksi Biofarma telah lulus praÂkualifikasi WHO. MeÂngacu pada besarnya biaya satuan aktual, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibanÂdingkan alat suntik disposable.
Alhasil, biaya yang dikeÂluarÂkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: