Televisi pemerintah Rusia menunjukkan pesawat Putin mendarat di ibu kota Mongolia, Ulaanbaatar dan mendapat sambutan kehormatan.
Putin kemudian menggunakan mobil Aurus dengan bendera Rusia meninggalkan bandara. Iring-iringan mobil itu disertai oleh pengawalan kehormatan pengendara sepeda motor.
Mengutip laporan kantor berita resmi
TASS, kunjungan presiden Rusia itu akan berlangsung selama dua hari.
"Pertemuan bilateral, termasuk dengan pemimpin Mongolia Ukhnaagiin Khurelsukh, serta penandatanganan sejumlah dokumen dan peletakan bunga di monumen Marsekal Uni Soviet Georgy Zhukov dijadwalkan hari Selasa (3/9)," ungkap laporan tersebut.
Putin telah menjadi buron sejak ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan tahun lalu atas dugaan deportasi ilegal anak-anak Ukraina sejak invasi meletus Februari 2022.
Ukraina mendesak agar Mongolia selaku negara anggota ICC mematuhi surat penangkapan tersebut.
Namun dalam praktiknya, hanya sedikit yang dapat dilakukan jika Ulaanbaatar tidak mematuhinya.
Kremlin mengatakan minggu lalu bahwa mereka tidak khawatir Putin akan ditangkap.
Terjepit di antara Rusia dan Tiongkok, Mongolia berada di bawah kekuasaan Moskow selama era Soviet.
Sejak runtuhnya Soviet pada tahun 1991, negara itu berupaya menjaga hubungan persahabatan dengan Kremlin dan Beijing.
Negara itu tidak mengutuk serangan Rusia di Ukraina dan abstain selama pemungutan suara PBB tentang konflik tersebut.
Amnesty International memperingatkan bahwa kegagalan Mongolia untuk menangkapnya dapat semakin membuat mantan mata-mata KGB itu, yang berkuasa selama hampir seperempat abad, semakin berani.
“Presiden Putin adalah buronan keadilan. Setiap perjalanan ke negara anggota ICC yang tidak berakhir dengan penangkapan berarti mendukung tindakan Putin dan melemahkan ICC," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Mongolia, Altantuya Batdorj.
Human Rights Watch juga menyerukan penangkapan Putin alih-alih menyambutnya dengan hormat di bandara.
"Menyambut Putin, seorang buronan ICC, tidak hanya akan menjadi penghinaan bagi banyak korban kejahatan pasukan Rusia, tetapi juga akan melemahkan prinsip penting bahwa tidak seorang pun, tidak peduli seberapa kuatnya, berada di atas hukum,” kata Maria Elena Vignoli.
BERITA TERKAIT: