Yang sebenarnya meninggal adalah dokter Mok. Kembarannya. Dengan wajah yang sangat mirip. Dengan hobi yang sama: menyanyi. Bermusik. Bikin grup band. Nama mereka pun mirip banget: Ario Djatmiko dan Ario Djatmoko.
Dokter Mik ahli kanker. Dokter Mok meninggal karena kanker. Di usia 73 tahun. Dua-duanya sering ke Australia. Menjadi permanent resident negara itu.
Ario Djatmiko adalah dokter pertama Indonesia yang mampu mendeteksi kanker payudara ketika penyakit itu belum bisa dilihat oleh alat: 4 mm. Kemampuan deteksi kanker sedini mungkin adalah kunci berhasil tidaknya wanita sembuh dari penyakit kanker terbanyak di dunia itu.
Dokter Mik mendalami kanker di Belanda. Itu karena ibunya pernah menderita kanker payudara. Bisa sembuh. Ketika sang ibu akhirnya meninggal di usia 83 tahun itu bukan karena kankernyi muncul kembali.
Saya mengagumi dokter Mik karena prinsip hidupnya: hanya melihat dunia ini dari sudut baik dan buruk. Ia tidak pernah mempertimbangkan di dunia ini juga ada prinsip menang atau kalah. Bahkan untung atau rugi.
"Dengan memegang prinsip itu saya tidak bisa menjadi pebisnis yang besar," ujarnya di rumahnya yang sepi di lingkungan orang kaya di Kertajaya Indah, Surabaya. Dua anaknya tinggal di Australia. Yang satu mendalami teknik industri. Satunya lagi ambil komunikasi.
"Saya memang tidak mau anak saya jadi dokter. Saya juga tidak mau anak-anak jadi pengacara atau politisi," katanya.
Dokter Mik pernah tersinggung berat oleh orang yang memikirkan untung rugi. Ketika itu ia membuka klinik di sebuah rumah sakit. Pasiennya begitu banyak. Terbanyak. Lalu pemilik rumah sakit itu mengajaknya bicara: mengapa dari pasien yang begitu banyak hanya sedikit yang menjalani operasi.
Ternyata si pengusaha melihat untung-rugi. Juga berorientasi kalah dan menang. Rumah sakitnya tidak mau kalah. Ia menghendaki agar lebih banyak pasien menjalani operasi. Lalu bisa tinggal di rumah sakit lebih lama. Dokter Mik pun menjelaskan prinsip hidupnya sebagai dokter: mana yang terbaik untuk pasien. Yang tidak harus opname tidak akan diminta opname.
"Tapi kalau banyak pasien yang operasi dokter kan juga bisa dapat uang banyak," kilah si pengusaha.
"Dokter tidak boleh begitu," jawab dr Mik.
"Berarti dokter ini merugikan rumah sakit," tukas si pengusaha lagi.
Sejak itu dokter Mik memikirkan harus punya tempat praktik sendiri. Sesegera mungkin. Ia dapat rumah di Jalan Bawean, Surabaya.
Ketika Mik mendalami kanker payudara di Belanda, ia mendapat pujian sebagai ahli yang mumpuni. Tapi ia juga menerima nasihat dari profesornya di sana: semua yang Anda pelajari ini tidak ada gunanya kalau Anda tidak punya satu tim yang kuat. Untuk menangani kanker payudara harus ada empat dokter berbeda spesialisasinya: ahli kanker dan bedah kanker, ahli patologi, ahli anestesi dan ahli gizi.
Nasihat itu membekas dalam di hati dokter Mik. Ia membenarkan prinsip itu. Banyak dokter ahli yang sulit bekerja sama dalam satu tim yang baik.
Misalnya ketika dokter Mik masih menjadi ahli bedah umum. Ia harus menangani pasien dari Banjarmasin. Ada penyakit di dekat mata kakinya. Harus dioperasi. Untuk itu harus dibiopsi dulu. Agar tahu ada kankernya atau tidak. Begitu ada kanker maka kaki itu harus diamputasi. Agar tidak menyebar.
Pemeriksaan biopsi itu dilakukan oleh ahli patologi. Ia hanya ahli bedah. Sang patolog memastikan ada kanker di dekat pergelangan kaki itu. Maka dokter Mik memotong kaki pasiennya.
Setelah diperiksa lebih dalam ternyata tidak ada kanker di situ. Dokter Mik terpukul secara mental. Tapi ia bukan patolog yang menentukan kanker atau bukan kanker.
Lain kali dokter Mik juga harus memotong daging di dekat pipi pasien. Dasarnya: patolog mengatakan ada kanker di situ. Dokter Mik minta kepastian apakah benar ada kanker. Dijawab: pasti.
Setelah hasil irisan dibawa ke Eropa ternyata diketahui sama sekali tidak ada kanker. Si pasien, seorang pengusaha, komplain ke dokter Mik. Yang dikomplain mengakui kesalahannya, meski yang salah adalah patolognya.
"Saya mengaku salah. Saya akan ganti seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. Apa boleh buat," kenang Mik.
Akhirnya si pengusaha memeluk dokter Mik. "Anda orang baik. Gentlemen. Mau mengakui salah," ujarnya. Lalu mengembalikan uang ganti rugi itu. Mungkin saking senangnya ia tidak jadi menderita kanker.
Begitu penting keberadaan tim dalam penanganan operasi pasien. Sejak itu dokter Mik ingin ada bagian kanker di Surabaya yang punya tim andal. Maka lahirlah lembaga penanganan kanker satu atap di RSUS dr Soetomo Surabaya.
Dokter Mik tidak puas dengan lembaga yang sudah diberi nama satu atap itu. "Atapnya memang satu tapi sekat-sekatnya banyak," guraunya.
Itulah sebabnya dr Mik membangun sendiri poliklinik kanker. Cita-cita membentuk satu tim yang andal ingin ia wujudkan di klinik Onkologi Surabaya. Ia kirim banyak dokter muda ke luar negeri. Agar mereka bisa belajar pentingnya satu tim yang kuat.
Ia membeli alat mamografi termahal yang pernah ada di Indonesia saat itu. Tapi yang ia utamakan tetap pembentukan tim yang andal.
Pasien klinik ini menjadi terlalu banyak. Tidak mampu menampung lagi. Tapi untuk membangun rumah sakit dokter Mik menyadari: ia bukan pengusaha. Prinsip baik-baru kalah dengan menang-kalah dan untung-rugi.
Tapi ia terus teringat prinsip profesornya di Belanda. Dokter yang hebat tidak akan sukses tanpa tim yang kuat.
Mik juga melihat praktik yang kurang tepat di rumah sakit: mengapa seorang yang operasi kanker payudara tidak bisa dilayani hanya satu malam. Mengapa harus berhari-hari di rumah sakit. Padahal kalau pasien tinggal seminggu di RS bisa ada kemungkinan akan terkena infeksi.
Maka dokter Mik ingin merealisasikan pasien operasi payudara cukup perlu tinggal di RS satu malam saja. Ketika masih di tahap proses pemeriksaan tidak perlu diopname. Pun sehari setelah operasi.
Ide seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau tidak punya rumah sakit sendiri. Maka dr Mik menggadaikan rumahnya. Agar dapat kredit bank untuk membangun rumah sakit kecil-kecilan. Khusus kanker. Hanya 28 tempat tidur. Tapi dengan prinsip "hanya perlu opname satu malam" rumah sakit 28 tempat tidur ini setara dengan 280 tempat tidur. Kecil tapi kapasitas layanan yang bisa diberikan sangat besar.
Latar belakang idealisme seperti itulah yang melahirkan RS Onkologi Surabaya. Kini umur RS itu sudah 18 tahun. Utang banknya sudah lunas.
Mengapa dokter Mik tidak bisa menyelamatkan dr Mok, saudara kembarnya?
"Apakah dokter Mok tidak peduli dengan kesehatan?" tanya saya.
"Ia sangat peduli. Tapi tidak menyangka kena kanker ginjal," katanya.
Awalnya dr Mok hanya merasa kebas di bagian pipi dekat mulut. Dicarilah ada apa dengan giginya. Tidak ditemukan keanehan.
Lalu lengan kanannya terasa sakit dan kebas. Kecurigaan utama: saraf belakang. Diperiksa. Tidak ada apa-apa.
Tahun lalu ketika tiba di Jakarta dari Melbourne, tulang lengan kanannya patah. Yakni ketika ingin bangkit dari tempat duduk di pesawat. Tangannya menekan lengan kursi: kreeek. Patah.
Setelah dilakukan pemeriksaan tulang lengan itu sudah kena kanker. Kekuatan tulangnya sudah rapuh.
Kanker tulang? Bukan. Setelah dilakukan pemeriksaan diketahuilah bahwa itu adalah kanker ginjal yang sudah menyebar. Sampai ke tulang. Juga sudah ke paru. Ke punggung.
Maka dr Mik mengantar dr Mok ke Melbourne. Mereka anggota ''BPJS'' - nya Australia. Dokter Mok ditangani dengan biaya ''BPJS''. Termasuk diberikan obat terbaru yang kalau harus membeli sendiri harganya Rp 8 miliar. Lalu dikemo sampai tiga seri.
Ketika parunya sudah bersih, dr Mok ingin ke Indonesia. Istrinya, dr Maria, adalah seorang dokter ahli kulit terkemuka di Jakarta.
Tidak lama setelah di Jakarta dr Mok lumpuh. Lalu dibawa kembali ke Melbourne. Di sana dipastikan tidak akan bisa sembuh lagi. Umurnya dinyatakan hanya tinggal hitungan bulan.
Menghadapi vonis itu dr Mok pilih meninggal di Jakarta. Ia juga pilih menjalani proses paliatif: sekadar agar tidak menderita karena sakitnya bukan main. Diberikanlah morfin.
Ketika masih bisa menyanyi, dokter Mik mengajak dr Mok menyanyi bersama. Jarak jauh. Di rumah masing-masing. Pakai jaringan internet. Direkam. Diedit. Jadilah video duet itu. Menarik sekali. Mengharukan. Lihatlah sendiri di video yang menyertai tulisan ini.
Tanggal 7 April lalu dr Mok masih berniat merayakan ultah ke 73. Teman-temannya diundang. Dokter Mik juga akan ke Jakarta. Semua tahu itulah ulang tahun terakhir mereka secara bersama.
Persis satu minggu sebelum acara itu dokter Mok meninggal dunia.
Saya pun memberi tahu dua teman bahwa dokter Mik meninggal. Lalu buru-buru saya ralat.
Mok dan Mik kelahiran Lombok. Lalu ikut ayah mereka pindah-pindah: Yogyakarta, Surabaya. Setamat SMA mereka mendaftar ke Unair. Naik bus dari Lombok. Ingin masuk fakultas kedokteran. Tiba di Surabaya pendaftaran sudah ditutup. Keduanya merayu pimpinan Unair agar bisa diterima. Setelah dites akhirnya diterima.
"Sejak SMA Mok lebih pintar dari saya," ujar Mik. "Kalau misalnya ia ranking 1, saya ranking 6," tambahnya.
Tapi lulus dokternya duluan Mik. Itu karena Mok terlalu aktif di organisasi mahasiswa. Juga main musik. Ketika Mik mengambil spesialis, Mok pilih jadi dokter umum saja.
"Siapa duluan menikah?"
“Kami," ujar Lia Algadrie, Ny Mik menukas. "Sebenarnya pacarannya duluan Mok," tambahnyi.
Suatu saat Maria Basir, teman baik Lia, datang ke rumahnyi dengan pacarnyi: Mok. Maria memperkenalkan pacarnyi itu punya saudara kembar: Mik. Sangat mirip.
Maka Lia ingin lihat saudara kembar Mok itu. Maria memang sudah lama mengenal Lia. Sesama gadis keturunan Arab. Lia dari Pasuruan, Maria dari Solo.
Lalu jadilah Mik diajak Mok ke Pasuruan. Ternyata cocok. Pacaran. Kawin lebih dulu.
Inilah Lebaran pertama bagi Mik tanpa Mok.
BERITA TERKAIT: