Itu yang kini dialami Imran Khan. Caleg yang ia dukung memenangi pemilu di Pakistan, tapi yang akan jadi perdana menteri justru Shehbaz Sharif dari partai PLM-N.
Megawati masih lumayan: jadi wapres --posisi yang membuatnya jadi presiden paro periode. Imran Khan jauh lebih buruk: justru mendekam di penjara untuk banyak perkara.
Ketika Pilpres tidak lagi lewat MPR justru Megawati tidak pernah terpilih. Tapi dia berhasil menempatkan petugas partainya, Jokowi, menjadi presiden. Dua periode.
Megawati gagal menjadikan putrinya sebagai pewaris istana. Sang petugas berhasil membuat putra sulungnya sebagai wakil presiden.
Megawati kini berusia 77 tahun. Jokowi masih 62 tahun. Jokowi bisa membuktikan: tanpa Megawati berhasil memenangkan pilpres. Justru ketika melawan Megawati --lewat Ganjar-Mahfud. Kini Jokowi bisa tepuk dada: apakah benar tanpa Megawati ia bukan siapa-siapa.
Jangan-jangan Jokowi hanya ingin menunjukkan itu. Selebihnya ia tetap kader PDI-Perjuangan.
Di usia 62 tahun Jokowi tidak mungkin pensiun. Bisa cepat mati. Tidak mungkin juga kembali jadi pengusaha mebel. Harga kayu semakin mahal.
Maka begitu banyak yang berharap Jokowi tampil memimpin PDI-Perjuangan di masa depan.
Tentu tergantung sikap Megawati: apakah mau merelakan posisi ketua umum untuk Jokowi yang dianggap pengkhianat.
Megawati marah. Tentu saja. Tapi marahnya tidak sampai meledak: Jokowi tidak dipecat dari anggota partai. Para menteri yang berasal dari PDI-Perjuangan juga tidak diizinkan mengundurkan diri secara demonstratif.
Saat dikalahkan SBY di tahun 2004 usia Megawati baru 57 tahun. Setelah 20 tahun pun Megawati belum bisa melupakan kekalahan itu -atau proses kekalahannya. Belum mau menyapa SBY.
Kini di usia 77 tahun, mungkin Megawati tidak semarah itu kepada Jokowi. Kalau dia akan menyimpan kemarahan itu juga selama 20 tahun, berarti sampai usia 97 tahun pun Megawati masih akan marah ke Jokowi.
Drama Jokowi mengalahkan Megawati di Pilpres 2024 akan dicatat sebagai peristiwa politik terbesar. Ternyata hanya orang PDI-Perjuangan yang bisa mengalahkan PDI-Perjuangan.
Di lain pihak belum tentu juga Jokowi mau menjadi ketua umum PDI-Perjuangan. Anak keduanya, Kaesang Pangarep, telanjur menjadi ketua umum PSI. Masak ayah menyaingi partai yang dipimpin anaknya. Kecuali sang anak mundur dengan alasan gagal membawa partai masuk parlemen.
Suara PSI sebenarnya naik drastis. Hampir dua kali lipat --sayangnya dari 1,4 persen.
Saya lihat caleg-caleg PSI kurang punya daya tarik pribadi. Kalau pun orang mau mencoblos PSI mereka tidak tahu mau pilih siapa.
PSI jelas salah dalam strategi menyusun daftar calon. Kaesang tidak sempat mengubah: tidak ada waktu lagi.
Kini kian jelas bahwa caleg-lah yang membuat suara partai naik. Caleg-lah yang sebenarnya bekerja. Bukan mesin partai. Caleg memang bekerja untuk diri mereka sendiri –tapi partai dapat dampaknya.
Bukti itu kian meneguhkan bahwa interest pribadi lebih menentukan dari interest partai.
Membela partai dapat apa. Membela diri sendiri dapat kursi.
BERITA TERKAIT: