Dinamika menjelang pemilu memang memberikan radar waspada bagi masyarakat selain menjadi bulan-bulanan perebutan suara. Masyarakat pun nantinya juga adalah pihak paling terdampak dari polarisasi pembelahan politik yang terjadi kala menjelang pemilu.
Namun terlepas dari dinamika menjelang pemilu ada hal menarik yang perlu dibahas pada kesempatan kali ini. Penulis tertarik membahas tentang inisiasi Ketua KPU yang mengatakan bahwa Pemilu 2024 nanti akan kembali menggunakan kotak suara berbahan kardus.
Dilansir dari
Kompas.com "Masih digunakan, saya pastikan masih digunakan," ujar Hasyim kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/5).
Hasyim memastikan penggunaan kotak suara kardus tetap digunakan demi efisiensi dan efektivitas. Dia memastikan keamanan dari kotak suara kardus, meski tak berbahan aluminium lagi. Alasan utama adalah biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah ketimbang kotak suara berbahan almunium.
"Anggaran KPU untuk gudang itu tidak selalu ada. Kalau itu jadi tanggung jawab KPU, siapa yang mau membiayai penggudangan. Dan kalaupun ada biayanya, KPU pukul rata, semua daerah kabupaten/kota, misalkan anggaran Rp 100 juta, ya Rp 100 juta semua," ujarnya menjelaskan.
Sebetulnya penulis tidak akan membahas bahan apa yang lebih baik digunakan. Namun bila kita ingin sedikit merenungkan pemilu 2019 silam. Ada banyak sekali peristiwa yang sangat menorehkan luka bukan saja bagi rakyat tapi juga menampar Demokrasi Indonesia kala itu yang tidak lagi ada harganya.
Selain memakan korban jiwa, kurang lebih 700 jiwa berdasarkan info terakhir yang beredar di tengah masyarakat.
Belum lagi sejumlah tindakan sabotase dari pihak yang tak dikenal terhadap kotak suara kardus. Salah satu nya terjadi di Desa Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Jambi, Kamis dini hari, 18 April 2019. Ada belasan kotak suara dibakar.
Data yang dihimpun dari Bawaslu Jambi, ada sebanyak 15 kotak suara dibakar massa yang tersebar di tiga TPS. Sebelum kejadian pada pukul 04.00 WIB, tiba-tiba listrik padam. Terjadilah lemparan batu ke atap TPS yang dilakukan oleh orang tidak dikenal.
Selanjutnya pukul 04.15 WIB, sekelompok orang mendatangi TPS 1, 2, dan 3 yang berlokasi di SDN 063/XI Koto Padang. Setelah itu 15 kotak suara kardus sudah raib oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pertanyaannya, masihkah percaya kotak suara kardus demi efisiensi?
Bagi penulis, tidak sesimpel percaya atau tidak. Yang lebih penting dari pembahasan kali ini apakah semurah itu biaya politik dalam sistem demokrasi? Jelas tidak semelarat sebagaimana yang digambarkan oleh Ketua KPU dalam ulasan di atas.
Anggaran Pemilu contohnya, menembus angka Rp 7,6 T dan mengalami penambahan anggaran menjadi Rp7,86 triliun kepada KPU dan sebesar Rp 6,06 triliun kepada Bawaslu RI untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Hal itu disepakati dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI bersama KPU dan Bawaslu di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa, (21/9).
Apakah dengan anggaran sebanyak itu tidak mungkin membiayai kotak suara yang lebih aman? Jawabannya jelas mungkin, tapi atas kepentingan apa? Keamanan? Jelas tidak sesimpel itu. Pihak yang berkompetisi nantinya punya banyak kepentingan yang masing-masing kepentingan bisa saja tidak mewakili rakyat.
Maka bisa dan mau itu jelas berbeda, dan kali ini pihak penyelenggara bukan tidak bisa tapi tidak mau kotak suara pemilu yang isinya adalah suara rakyat itu aman sentosa dari tindakan sabotase seperti sebelumnya. Atau bisa jadi yang melakukan tindakan sabotase justru adalah pihak yang bermain pada kebijakan kotak suara berbahan kardus ini.
Mereka memang sangat tidak mahir belajar dari sejarah. Mengingat dan mempelajari memang berbeda. Dan penulis meyakini bahwa tidak ada satupun dari mereka yang lupa dengan kejadian pilu pemilu 2019 lalu, sayang nya mereka tidak mau belajar.
Ditambah lagi kepentingan yang tidak memihak rakyat yang semakin membuat mereka buta dengan berbagai kejadian pilu yang menimpa kala pemilu 2019 silam.
Pertanyaannya sederhana, kotak suara pemilu berbahan kardus kepentingan siapa? Yang jelas bukan rakyat.
Wallahu A'lam Bi Sowab.
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: