Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Quo Vadis Media: Intervensi Oligarki atau Hipokrisi Demokrasi?

OLEH: DIAN FITRIANI*

Senin, 26 Desember 2022, 18:52 WIB
Quo Vadis Media: Intervensi Oligarki atau Hipokrisi Demokrasi?
Ilustrasi/Net
DALAM hal independensi, media memang tidak lagi bisa dipercaya. Terlebih menjelang tahun-tahun politik. Media seolah bertransformasi menjadi tangan tak terlihat yang mengendalikan citra dan mensugesti masyarakat untuk menyukai agenda, tokoh, dan partai politik tertentu.

Di sisi lain, media masih dianggap ideal sebagai instrumen pendongkrak elektabilitas. Selain itu, dalam konteks komersil, media pun lebih pragmatis, melakukan tawar menawar dan bertransaksi dengan kepentingan politis.

Permasalahan semakin kompleks ketika hiperealitas kini merundung masyarakat. “All that is real becomes simulation” (Jean Baudrillard). Sosiolog asal Prancis ini berpandangan bahwa kenyataan kini tengah menjadi simulas hal ini dipicu oleh persoalan kebudayaan kontemporer, masifnya informasi media bukan saja berarti masyarakat semakin mudah mengakses informasi, akan tetapi intepretasi citra yang majemuk membuat bias berbagai macam informasi yang di terima masyarakat.

Bayangkan saja kita menerima ratusan fakta dan data setiap hari. Sampai-sampai kita tidak lagi punya ukuran absolut untuk menilai, mengidentifikasi, dan mempertimbangkan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang salah ataupun benar, serta mana kenyataan dan mana yang hanya ilusi.

Dominasi media massa yang tenggelam bersama adiksi masyarakat memang bukan saja menjadi tantangan hari ini. Dari  kaca mata politik, siluet  media justru dipandang sebagai peluang dapat diarahkan sesuai kepentingan kekuasaan.

Bila diartikan secara luas, pengertian media tidak hanya berbatas pada media mainstream seperti TV dan radio. Tetapi juga merujuk pada media sosial, bahkan baliho sekalipun.

Penulis resah. Sebetulnya, kemana arah kebebasan media? Betulkah media bebas? Atau apakah sebetulnya media hanya berperan sebagai “pelakor” pada kisah perselingkuhan penguasa dan oligarki? “Pelakor” yang tak pernah betul-betul mengabdi pada rakyat.

Bila menyimak headline berita di berbagai media mainstream, tampak jelas media sudah tidak malu-malu lagi mengabarkan berita yang tidak perlu publik ketahui, dan condong pada kepentingan pihak tertentu. Toh, sudah bukan rahasia pula, politikus bahkan mempunyai channel sendiri yang tayang di televisi konvensional, Hary Tanoesoedibdjo selain saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia atau Perindo, Beliau juga pendiri sekaligus pemilik perusahaan konglomerat MNC Group. Dan yap, Channel Media Citra Nusantara atau MNC tentu berada di dalam genggamannya.

Maka dari sinilah munculnya politikus di media mainstream, menjelang perayaan hari besar agama, ada saja politikus yang hadir di sela-sela iklan hanya untuk sekedar mengucapkan selamat memperingati hari hari besar agama tertentu.

Lalu, ada saja berita konyol yang sekadar menginformasikan tokoh politik “A” yang baru saja memberikan santunan ke pihak ‘“X”. Mereka mengemas berita sedemikian rupa, seolah berita pencitraan itu penting sekali artinya untuk diketahui rakyat.

Mungkin pembaca masih ingat perang baliho setahun lalu. Ketika itu wajah seorang politikus dipasang di baliho berukuran 4x6 meter dengan narasi “Si A untuk 2024" Atau "Si B Siap Memimpin".
 
Kejenuhan semakin bertambah ketika semakin banyak tokoh politik yang saling berlomba, memasang baliho-baliho pencitraan dengan berbagai pesan politik.

Kalau begini terus, rasanya rakyat akan marah dan jengah. Alih-alih meningkatkan partispasi dalam berdemokrasi, masyarakat justru merasa terpolarisasi lewat kamuflase media.

Sebetulnya sejauh mana media bebas digunakan untuk aktivitas politik dengan kemajemukan ekspresi tak terkecuali kepentingan elektabilitas.

Hari ini rasanya media sudah tak tawar lagi, bercampur aduk dengan agenda oligarki yang sebetulnya telah lama menguasai baik secara kultur maupun struktur di negara ini. Meskipun secara prinsip media harus menjadi alat transparansi pemerintahan dengan berbagai aktivitas kebijakan, menjadi mediasi antara penguasa dengan rakyat, berkomunikasi untuk mendapatkan partispasi masyarakat. Sehingga sering kita dengar istilah media adalah pilar keempat demokrasi.

Akan tetapi, betulkah saat ini media berperan hanya sekadar menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat?

Rasanya sangat jauh dari idealitas yang sesungguhnya. Realitasnya, media kini menerima banyak pesanan penguasa untuk mengumbar citra bak memoles wajah dengan bunga-bunga demokrasi. Tak heran tiap hari dengan tokoh berbeda diberitakan berbagai macam aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan ataupun kebutuhan masyarakat.

Kompleksitas media semakin pelik ketika media kini juga berperan sebagai kantor bisnis yang menjual berita-beritanya. Sebagai produsen berita tentu media akan mempertimbangkan siapa yang menjadi target pasar dan siapa klien yang akan dapat memperoleh keuntungan besar. Dalam hal ini klien itu adalah penguasa atau bahkan oligarki.

Orientasi primer yang menempatkan media menjadi alat pencari keuntungan semata adalah langkah besar yang menjadikan media tempat politikus mengekpresikan hasrat politik mereka.

Maka tak heran berita-berita komersil yang tengah hadir di tengah masyarakat, selalu mengisyaratkan agitasi elektabilitas tokoh tertentu. Mahakarya jurnalistik kini bukan lagi investigasi fakta dan data akan tetapi  adalah proyek-proyek oligarki semata.

Terlebih perusahaan media, apakah mainstream atau tidak, menciptakan atmosfer kontestasi untuk menyita perhatian publik. Kantor berita tak kehabisan cara untuk menggandeng tokoh politik yang bersedia mendanai operasional kebutuhan media.

Kantor berita saat ini harus melewati empat langkah yang secara tidak langsung menjadi fase seleksi untuk dapat mengangkat berita ke hadapan khalayak. Pertama harus ada kepentingan keuangan para pemilik atau investor. Kedua, kepastian dukungan para pengiklan. Ketiga, birokrasi sumber pemberitaan.

Hal ini mengartikan bahwa jika kantor berita ingin mendapatkan sumber berita dengan cepat dan akurat maka mereka harus mengadakan "kongkalingkong" antara kantor berita dan sumber pemberitaan. Ini tidak jarang melibatkan kepentingan bisnis hingga seringkali penggiringan opini hadir sebagai bentuk penyesuaian pesanan dari kedua belah pihak.

Terakhir, ancaman dan dorongan pemberitaan. Hal ini sudah menjadi resiko dari kantor berita apabila memproduksi berita yang menyinggung sebagian pihak, ataupun dorongan menampilkan citra sebagian pihak. Hal ini menjadi biasa dalam dinamika media modern.

Maka sampai sini penulis semakin yakin tidak akan pernah ada media yang netral. Wallahu A'lam Bi sowab. rmol news logo article

*Penulis adalah mahasiswi Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA