Hal ini ditegaskan Muhammad Isnur pada acara diskusi publik "Peringatan Hari HAM dan Mengenang 57 Tahun Munir: Potret Penegakan HAM di Indonesia" yang diselenggarakan PP IKA UB di Waroeng Sadjoe Tebet, Jakarta, Kamis (8/12).
"Sejak awal kita sudah bilang upaya rekayasa kasus, penghilangan alat bukti sudah dilakukan terhadap kasus Munir. Hingga diputus bersalah bahkan Polycarpus tidak mau mengakui bahkan diberi remisi 5 tahun," ujar Muhammad Isnur.
Penyelesaian kasus Munir, dijelaskan Isnur, bukan soal kemampuan namun soal kemauan untuk mengungkap kasus. Tetapi, bagaimana dorongan politik untuk mendesak agar segera dilakukan penetapan sebagai pelanggaran HAM berat dan penyelesaian kasus.
"Bukti hanya urusan teknis, sehingga jika kemauan politik tidak ada penyelesaian juga tidak akan ada sampai kapanpun," katanya.
Lebih jauh, dia menuturkan bahwa kasus Munir tidak mengenal batas waktu jika memang semua sepakat kasus tersebut adalah pelanggaran HAM berat. Terutama, komitmen dari Presiden Joko Widodo yang saat ini memegang kuasa.
"Tetapi sejak awal memang Jokowi sudah tidak punya komitmen, terbukti di awal ia mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam, terduga pelanggar HAM ada dalam lingkar inti Istana," terangnya.
Sementara itu, Suciwati, istri almarhum Munir menegaskan bahwa penegakan HAM hari ini nyaris tidak ada. Dia mengaku, sejak awal sudah tidak percaya Jokowi saat mencalonkan presiden termasuk orang-orang di sekitarnya.
Pengesahan KUHP yang baru saja terjadi, lanjut Suciwati, harus menjadi refleksi kita sebagai gerakan masyarakat sipil yang tidak bersinergi satu sama lain bahkan sibuk sendiri dengan proyek masing-masing.
"Harus ada sosok seperti Munir yang menjaga Republik ini dan memperjuangkan darah korban tidak bisa dibeli dengan rupiah," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: