Hari ini membaca tak lagi perlu berjalan puluhan kilometer ke pusat kota, tak perlu pula suntuk seharian di ruang penuh buku berdebu, membaca menjadi aktivitas yang seringkali tidak kita sadari adalah bagian dari membaca, membaca tautan media sosial, berita elektronik hingga brosur dan spanduk jalanan.
Berkembangnya media dan informasi tidak selalu sejalan dengan kemajuan nalar, nilai, dan etika. Justru seringkali tidak berbanding lurus, bahkan ironisnya kemunduran berpikir, sumbu pendek hingga anarkisme muncul melalui tersebarnya media dan informasi.
Bukan saja konflik horizontal antar variabel masyarakat, namun kemajuan teknologi juga tidak dapat menjamin keakraban sosial-politik vertikal membaik, bahkan justru sebaliknya.
Dalam alam politik misalnya, melahirkan aliran kapitalistik pasca
post modern pertama, yakni revolusi industri 1.0 yakni terciptanya mesin uap oleh James Watt pada pertengahan abad ke-18 di Eropa Barat, tepatnya di Britania Raya hingga akhirnya penggunaan mesin uap tersebar di Amerika Utara hingga ke Asia.
Penggunaan mesin uap yang kemudian diaktualisasikan dalam berbagai alat dan mesin seperti alat manufaktur, transportasi, hingga mendongkrak revolusi industri pada zamannya.
Namun sejak adanya mesin uap, pembelahan politik semakin menjadi, kesenjangan sosial, instabilitas ekonomi, hingga krisis keadilan. Lahirlah era kapitalisme yang kemudian menjalar dalam penggunaan komoditas sumber daya alam.
Pasar bebas hingga desentralistik aset-aset negara dan monopoli kekayaan alam dan perbudakan buruh serta pekerja kasar menjadi akar dari penindasan hingga feodalisme semuanya itu justru muncul akibat keserakahan para pemegang modal, penguasa, dan para cendikiawan yang menjadi pemeran utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lantas bila berangkat dari sejarah, apakah selalu kemajuan itu membawa kemunduran dan kesenjangan sosial?
Dekadensi MoralDisintegrasi kemajuan iptek dengan ketanggapan nilai dan etika memang merupakan kesenjangan rasio idealitas kemajuan itu sendiri. Idealnya memang kemajuan iptek seharusnya representasi kemajuan adab, norma dan nilai.
Akan tetapi nyatanya, secara historis misalnya kemajuan iptek selalu diselingi kemunduran moral. Seperti perang nuklir, genosida hingga penggunaan senjata kimia untuk membantai umat manusia adalah bukti kesenjangan antara kemajuan iptek dengan ketanggapan nilai.
Maka masalah dasarnya bukan pada perkembangan ilmu pengetahuan sebagai dasar dan pedoman hidup manusia itu sendiri akan tetapi pada landasam penerapannya hingga pada orientasi berkembangnya suatu disiplin ilmu.
Misalnya orientasi perkembangan ilmu kesehatan, tentu pada penerapannya seharusnya digunakan untuk mengobati pasien yang sakit, menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis hingga klinis. Akan tetapi jika orientasi penerapan ilmu kesehatan adalah menciptakan virus, komersialisasi obat kala krisis kesehatan melanda atau membuat senjata kimia yang bersifat memusnahkan populasi.
Hari ini begitu banyak penyalahgunaan penerapan ilmu pengetahuan justru dinormalisasi hingga disokong oleh mereka para pemilik modal yang akhirnya semua bersepakat meraup keuntungan semata dan tak peduli bahwa mereka sejatinya adalah pengkhianat ilmu pengetahuan sekaligus pengkhianat peradaban.
Sekulerisme Buah dari Pengkhianatan Cendikiawan dan AgamawanLagi-lagi belajar dari sejarah, kali ini bukan tentang mesin uap, tapi tentang pergolakan etis para gerejawan dan cendikiawan. Di mana pada abad kegelapan di eropa barat yang dikenal dengan
dark age. Saat itu abad ke-15 menggambarkan kegelapan para penguasa yang kala itu adalah para petinggi gereja.
Mereka tak segan mengekspansi bangsa lewat ekonomi, sosial hingga politik. Menjanjikan kedamaian lewat produk tuhan yang bernama agama. Akan tetapi pengkhianatan hingga hipokrasi mereka terhadap makna agama dan penerapannya terjadi disorientasi hingga akhirnya berimbas pada kehancuran peradaban.
Hal tersebut diakibatkan dari kerakusan kekuasaan hingga kebodohan para petinggi gereja terhadap ilmu pengetahuan sehingga para cendikiawan yang menekuni suatu ilmu dianggap sebagai pembangkang bahkan tak segan mereka hukum mati.
Copernicus misalnya yang dihukum mati pasca mengungkapkan teori heliosentris, nasib Galileo pun tak jauh berbeda, seorang filsuf dan ahli astronom asal negeri menara Pisa itu mengaku mendukung heliosentris yang juga dikemukakan oleh Copernicus, akan tetapi ia dipaksa mengaku salah dan akhirnya ia mengaku salah dan mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di rumah tahanan setelah dijatuhi hukuman oleh Paus Urban VII.
Memang tak dapat disebut satu persatu, kisah kematian para cendikiawan kala itu menorehkan luka hingga traumatis mendalam. Bukan saja trauma pada kekejaman akan tetapi trauma pada dogma agama yang kala itu adalah katolik.
Namun kebangkitan para cendikiawan dan filsuf yang kita kenal sebagai abad renainsains kala itu mulai terjadi pemberontakan hingga akhirnya menghancurkan singgasana kekuasaan para agamawan, mereka mengadakan perundingan
win-win solution.
Berharap ada solusi, mereka justru mencoba menengahi ide mereka masing-masing. Maka lahirlah ide sekulerisme. Pemisahan agama dari kehidupan.
Ide ini muncul di inisiasikan oleh filsuf yang kala itu memenangkan perundingan. Traumatis terhadap agama yang tak bisa dihilangkan membuat mereka membenci agama.
Ketokohan hingga kesucian agama tak lagi mereka indahkan. Hingga akhirnya mereka mencoba menghapuskan aspek ruhiyah dari agama, secara fisik mereka masih menganggap ada, akan tetapi pada penerapannya, mereka tak lagi peduli. Karena bagi mereka agama hanyalah alat menjajah dan doktrin kebodohan.
Maka sejarah kebangkitan ilmu pengetahuan dari barat justru berasal dari dinamika aneksasi dan rivalitas agama dan ilmu pengetahuan. Maka tak heran, hari ini kemajuan iptek tak lagi diiringan dengan aspek teologis, nilai serta moral.
Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan harusnya sejalan dengan agama, yang mana merupakan pedoman hidup manusia. Bukan justru sebaliknya, menimbulan traumatis, kemunduran bahkan kebodohan.
Kini kita melihat para agamawan yang sibuk mengejar kekuasaan, bermain politik dengan para penguasa dan pengusaha, lupa menjadi tokoh yang mencerahkan umat, maka hakikatnya mereka berkhianat, dan buah dari pengkhianatan mereka adalah sekulerisme.
Dan kini kita melihat para cendikiawan asik membuat alat-alat canggih memuaskan manusia, memberikan fasilitas yang memanjakan akan tetapi lupa pada pengolahan limbah, hingga dampak kerusakan yang terjadi akibat dari tangan-tangan pintarnya. Maka ketahuilah mereka adalah pengkhianat ilmu pengetahuan.
Sejarah sekulerisme seharusnya membuat kita mengambil pelajaran bahwa kebangkitan ilmu pengetahuan dengan menepikan nilai agama adalah omong kosong dan hipokrasi belaka.
Seharusnya kita melihat bahwa ada peradaban yang berdiri kokoh selama 14 abad lamanya mendirikan infrastruktur yang luar biasa, fasilitas pendidikan hingga kesehatan yang sejahtera dan masyarakat yang madani.
Kemajuan peradaban Islam adalah bukti keberlangsungan harmonisasi agama dan ilmu pengetahuan. Namun hari ini sekulerisme justru diagung-agungkan bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup bernegara.
Maka jika hari ini dekadensi moral justru terjadi kala ilmu pengetahuan, media dan informasi berkembang pesat, maka sejatinya kita tak pernah belajar dari sejarah.
Kita membusuk kaku oleh sejarah, kita termakan oleh kemajuan yang ditawarkan memanjakan mata, tapi tidak menenangkan hati, memuaskan akal hingga tak akan pernah kembali pada fitrah.
Wallahu a’lam bi sowab *Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: