Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

PGA LIV

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dahlan-iskan-5'>DAHLAN ISKAN</a>
OLEH: DAHLAN ISKAN
  • Minggu, 25 September 2022, 04:58 WIB
PGA LIV
Ilustrasi/Net
INILAH tulisan yang saya buat dengan malu-malu. Terutama malu kepada Robert Lai. Peristiwa ini besar sekali. Di kalangan pencinta golf. Saya harus menuliskannya. Tapi saya tidak mengerti: apa itu golf.

Anda sudah tahu: Piala Champions, di sepak bola, mau disaingi oleh Super Club. Klub-klub besar sepak bola dunia mau bersatu. Bikin pertandingan sendiri. Di luar Piala Champions.

Demikian pula di golf. Dominasi PGA Tour akan tersaingi oleh Liga LIV. Serius sekali. Sama dengan Piala Champions. PGA Tour melawan: pegolf yang ikut Liga LIV akan dicoret dari PGA Tour.

Uang besar, tokoh besar, moment besar. Semua terlibat di dalamnya. Seru sekali. Saya sudah minta Robert Lai menulis soal itu. Untuk Disway. Tulisan Robert bagus. Punya sisi filosofinya. Pengantar buku saya, Ganti Hati, contohnya. Ia yang menulis kata pengantar itu.

Apa jawab Robert?

"Saya tidak sampai hati melihat perpecahan itu. Saya terlalu emosional," ujar teman Singapura kelahiran Hong Kong itu. "Ini semua karena uang," katanya. "Uang telah membuat sisi sportivitas olahraga diabaikan," tambahnya. "Uang. Uang. Uang," tegasnya.

Saya pernah berhasil mengajak Robert pergi ke mana saja. Berdua. Kadang dengan istri kami masing-masing. Tapi saya gagal memintanya menulis perpecahan ini –saking cintanya pada golf.

Mungkin itu pembalasan. Ia tidak pernah berhasil mengajak, merayu, dan mengintimidasi saya untuk main golf.

Ke mana pun pergi ia selalu membawa majalah golf. Edisi terbaru. Kadang tertinggal di kamar saya –seperti sengaja ditinggal. Keesokan harinya ia seperti nge-tes saya. Ia ingin tahu apakah saya membuka majalah itu. Siapa tahu saya mulai tertarik salah satu artikelnya.

Ia kecewa. Pertanyaannya tidak ada yang bisa saya jawab.

Saya tahu: tidak ada gunanya saya membaca majalah itu. Ia pasti akan bercerita panjang mengenai isi bacaannya itu. Ia tidak peduli: saya tertarik atau tidak. Ia terus bercerita. Lama-lama, secara tidak sadar, saya hafal nama-nama pemain golf terkemuka. Saya juga hafal nama-nama lapangan golf hebat di dunia.

Beberapa cerita mengenai lokasi itu membuat saya penasaran. Saya sampai mampir ke lapangan golf Augusta di Georgia, Amerika Serikat. Saya juga datang ke lapangan golf St. Andrews, di utara Edinburgh, Skotlandia. Di situlah ia sekolah manajemen golf di masa mudanya.

Pak Ciputra, pemilik begitu banyak lapangan golf, juga gagal berdakwah golf di depan saya. Padahal beliau sampai kirim tas golf yang bulat-besar-panjang itu ke rumah saya. Isinya penuh dengan stik golf berbagai tipe. Untuk saya. Pasti mahal sekali.

Suatu saat Pak Ciputra bertanya: sudah main golf?

"Mohon maaf," jawab saya sangat lirih. Saya pun melihat raut wajahnya yang kecewa.

Kini ganti saya yang kecewa: Robert tidak mau menulis tentang pertengkaran dalam tubuh golf dunia. Kemarahan saya itu saya tuangkan hari ini: biar saja saya sendiri yang menulis. Biar saja jelek. Biar saja salah. Agar ia tahu saya lagi kecewa. Apalagi ia pasti membaca tulisan ini. Ia rajin bikin komentar. Ia selalu membaca Disway lewat google translate. Ia pasti kecewa pagi ini: kok Disway tidak bermutu.

Anda sudah tahu: dominasi PGA Tour, di dunia golf, memang sudah mirip Piala Champions di sepak bola. Setiap pertandingannya disiarkan langsung dengan penonton jutaan. Saya sering diajak nonton oleh Robert. Di kafe mana pun di perjalanan. Mula-mula merasa sangat membosankan. Tapi saya harus toleran. Saya kan pernah mengajaknya nonton siaran langsung sepak bola pada jam 02.00. Ia tampak ikhlas ketika berangkat. Tapi sebelum 10 menit saya lirik ia: sudah tertidur pulas di kursi.

Pesaing PGA Tour itu menyebut dirinya Liga LIV. Itu angka Romawi untuk 54. Pertandingan di Liga LIV memang selalu 54 holes. Sistem pertandingannya memang sedikit berbeda dengan yang di PGA Tour.

Yang juga beda: besarnya hadiah bagi pemenangnya.

Hadiah di PGA Tour Anda sudah tahu: tahun ini naik menjadi USD 1,5 juta. Sekitar Rp 15 miliar. Hanya untuk juaranya. Hanya sekali event. Setahun bisa 12 event.

PGA Tour harus menyediakan hadiah total USD 1,5 miliar setahun –hitung sendiri berapa rupiah. Itu bisa untuk membelikan kompor listrik induksi bagi seluruh orang miskin di Indonesia.

Meski begitu mahal, masih ada yang mau menyaingi. Uang sudah seperti uban di rambut.

Di Liga LIV hadiah itu dibuat hampir tiga kali lipatnya: USD 4 juta. Masuk 10 besar pun sudah dapat hadiah. Masuk 5 besar dapat hadiah lagi. Dan bila juara ada tambahan lagi yang sangat besar.

Bahkan untuk tahap awal ini, Liga LIV membayar siapa pun yang mau pindah dari PGA Tour. Memang Liga LIV mengincar juara-juara PGA. Termasuk ranking atasnya. Agar pindah semua ke Liga LIV.

Tiger Wood, yang Anda kenal itu, semula seperti anti Liga LIV. Belakangan ada media yang memberitakan: ia minta dibayar sebesar USD 700 sampai USD 800 juta. Hanya untuk mau main di Liga LIV.

Dari situ saya membayangkan berapa banyak uang yang diterima Presiden Donald Trump dari Liga LIV. Dari 14 seri pertandingan Liga LIV setiap tahunnya, yang dua kali dilaksanakan di lapangan golf milik Trump di Amerika. Termasuk pertandingan terakhirnya: di lapangan golf Trump yang di Florida.

Maka orang pun menelisik: siapa cukong yang mampu membiayai Liga LIV seperti itu. Dicarilah siapa orang terkaya yang sangat baik kepada Trump.

Ketemu: Mohamad bin Salman. Ia pangeran kerajaan Saudi Arabia yang praktis sudah sebagai raja de facto di sana.

Pangeran MbS menggunakan Public Investment Fund, bagian dari Saudi Sovereign Wealth Fund, sebagai investornya.

Liga LIV pun dianggap menjadi bagian dari usaha MbS untuk membersihkan namanya di dunia: dari kasus pembunuhan mengerikan atas wartawan Washington Post Gamal Kashoghi di Istanbul tiga tahun lalu.

PGA Tour pun seperti menemukan senjata untuk menyudutkan pesaingnya itu: pegolf yang ikut Liga LIV adalah mereka yang tidak peduli pada hak-hak asasi manusia.

Orang Barat sangat sensitif soal itu hak asasi manusia. Tapi Liga LIV banyak uangnya.

Untuk melawan serangan PGA Tour itu Liga LIV mengandalkan CEO-nya yang bukan sembarang orang: Greg Norman. Anda pun sudah tahu: ia juara dunia. Pernah 20 kali menjuarai PGA Tour. Begitu hebatnya ia sampai mendapat nama baru: The Great White Shark.

Dengan nama besarnya itu ia membangun banyak perusahaan. Termasuk perusahaan desain lapangan golf. Nirwana Golf di Bali adalah hasil desain perusahaannya. Juga ada di Batam. Dan beberapa lagi. Dan yang utama adalah perusahaan alat-alat golf, termasuk kaus, jaket, dan celana golf.

Ia orang Australia. Ia yang berhasil merayu 50 pegolf terkemuka dunia untuk gabung ke Liga LIV.

Greg kelihatannya akan terus menyerang PGA Tour. Minggu ini ia akan melobi anggota Kongres Amerika Serikat. Dari Republik dan dari Demokrat.

Secara hukum Greg juga akan mempersoalkan: PGA Tour telah melanggar UU Anti Monopoli. Buktinya: pegolf yang ikut Liga LIV dicoret dari PGA Tour.

Sebenarnya itu persaingan biasa saja. Kuat-kuatan uang. Dan yang seperti itu yang Robert tidak setuju.

Mestinya saya bisa minta Prof Dr Komaruddin Hidayat untuk menuliskannya. Biar Robert tahu bukan hanya ia yang gila golf. Apalagi intelektual Islam Indonesia itu pernah menulis buku tentang golf dari sisi spiritualnya. Tapi hari sudah terlalu malam. Biarlah tulisan jelek ini saja yang terbit hari ini. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA