Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Persaingan Senjata Nuklir Dan Perang Intelijen Di Timur Tengah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Selasa, 13 April 2021, 16:26 WIB
Persaingan Senjata Nuklir Dan Perang Intelijen Di Timur Tengah
Dr. Muhammad Najib/Net
ISRAEL merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang yang sudah memiliki senjata nuklir. Kini negara Zionis ini diperkirakan menyimpan lebih dari 100 hulu ledak nuklir yang bisa dipasang di kapal laut, kapal selam, pesawat tempur, atau rudal.

Tel Aviv merintis ambisinya untuk memiliki senjata nuklir sejak negara Israel dideklarasikan. Perdana Mentri David Ben-Gurion memulai rintisan awalnya pada tahun 1949, kemudian dibantu Perancis dan berhasil melakukan uji-coba pertama kalinya pada awal tahun 1960-an.

Israel membangun reaktor nuklirnya di kota terpencil bernama Dimona yang terletak di gurun Negev. Meskipun dijaga ketat dan sangat dirahasiakan, aktifitas dan detail program di dalamnya terkuak, setelah salah seorang ahlinya yang bernama Mordechai Vanunu berbicara ke pers Inggris tahun 1986.

Vanunu kemudian digiring ke Italia oleh seorang gadis agen Mossad yang berpura-pura jatuh hati pada dirinya. Di Italia tim Mossad yang sudah menunggu menyergapnya, kemudian menyelundupkan dirinya ke Israel. Vanunu lalu diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun.

Israel tidak menginginkan ada negara lain di kawasan Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir selain dirinya. Hal ini bisa dilihat bagaimana negara Zionis ini membunuh satu persatu ahli nuklir Irak yang dikirim ke Perancis yang menjadi parner Bagdad dalam mengembangkan reaktor nuklirnya.

Pada puncaknya Perdana Menteri Israel pada waktu itu yang dijabat oleh Menachem Begin memutuskan untuk mengirim sejumlah pesawat tempur sebagai bagian dari misi meluluh-lantakkan reaktor nuklir Irak yang berlokasi di Osirak di pinggiran kota Bagdad pada tahun 1981.

Iran merupakan negara lain di Timur Tengah yang membangun reaktor nuklirnya sejak 1950 dibantu oleh Amerika. Setelah Revolusi Islam tahun 1979 yang menggulingkan rezim Reza Pahlevi dukungan Amerika, Teheran yang semula menjadi sahabat kemudian berubah menjadi musuh utama Tel Aviv dan Washington.

Untuk melanjutkan program nuklirnya Iran yang ditinggal Amerika dan Israel, kemudian secara bergantian menggandeng Perancis, kemudian diganti Argentina, terakhir Rusia yang menolong Teheran untuk mewujudkan mimpinya menjadi bagian dari negara nuklir.

Berkali-kali program nuklir Iran menjadi sasaran operasi Mossad, mulai pencurian dokumen-dokumen penting, pembunuhan para ilmuwan nuklirnya, dan yang paling mutakhir berupa sabotase yang menimbulkan ledakan pada reaktor yang terletak di Natanz melalui serangan siber yang terjadi beberapa hari lalu.

Yang kini sangat ditakutkan Israel adalah  rencana Presiden Amerika Joe Biden untuk kembali pada kesepakatan JCPOA sesuai janji politiknya. Bagi Israel JCPOA yang ditandatangani di era Presiden Barack Obama merupakan sebuah kekalahan. Karena di dalamnya tidak menvakup tentang larangan atau kendali industri rudal dan drone milik Iran.

Jika Amerika kembali ke JCPOA tanpa revisi, maka Iran akan terbebas dari sanksi dan embargo yang membelenggunya selama ini, sehingga secara ekonomi Teheran  akan leluasa menjual minyak dan gas buminya yang akan memperbesar pundi-pundi keuangannya, sementara secara teknologi dan peralatan membuat Teheran leluasa bekerja sama serta juga bebas mengimpor berbagai peralatan termasuk untuk kepentingan militer.

Bisa dibayangkan bila dalam kondisi diembargo Iran bisa mengembangkan rudal balistik dan drone yang bukan saja menakutkan negara-negara Arab tetangganya, tapi juga menakutkan Israel dan Amerika. Hal inilah yang membuat Israel bekerja keras dan berhasil memaksa Amerika di bawah Presiden Donald Trump untuk keluar dari perjanjian JCPOA, diikuti pemberian tambahan sanksi dan embargo terhadap Iran.

Terbaca dengan jelas kombinasi dari operasi intelijen yang dilakukan Mossad dan manuver politik yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akhir-akhir ini tepatnya pasca kekalahan Donald Trump, bertujuan untuk mengganjal rencana dan agenda Presiden Amerika terpilih  Joe Biden.

Karena itu menarik untuk terus dicermati apakah agenda negara Zionis kali ini akan sukses atau gagal. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA