Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menakar UU Ciptaker Bab X Dan PP Nomor 74 Tahun 2020 Tentang LPI Sebagai Produk Hukum 'Kebut-kebutan'

Kamis, 07 Januari 2021, 12:59 WIB
Menakar UU Ciptaker Bab X Dan PP Nomor 74 Tahun 2020 Tentang LPI Sebagai Produk Hukum 'Kebut-kebutan'
Azmi Syahputra/Net
TULISAN ini adalah catatan kecil atas keresahan akademik saya, sebagai bentuk perhatian terhadap kehadiran sebuah Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang dibentuk pada ahir 2020. Mengingat skalanya yang sangat besar, di mana dana atau aset negara maupun aset pihak lain yang dikelola dalam jumlah besar.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Namun lembaga ini tampaknya belum banyak jadi perhatian untuk ditelaah atau dipahami kehadirannya oleh masyarakat pada umumnya. Urgensinya di mana, fungsinya apa, manfaatnya dan tugasnya apa. Sedangkan proses pembentukan UU dan PP-nya, dibuat dengan sangat cepat ala "rapid test" atau kebut-kebutan".

Sehingga perlu kajian holistik untuk melakukan penelaahan. Perlu mengingatkan pemangku kepentingan dan dibutuhkan pula masukan yang partisipatif dari seluruh elemen guna tercapainya tujuan yang hendak diraih dengan optimal.

Setelah Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 2 November 2020, maka  pada 14 Desember 2020 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI) pun telah pula ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran negara tahun 2020 nomor 286.

Dalam rentang 40 harian, telah selesai PP dimaksud. Artinya antara UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan PP-nya, bisa dikatakan dibuat oleh penyusun secara bersamaan. Sehingga pembuatan regulasi ini berasa "kebut-kebutan".

Ada beberapa catatan yang menjadi keresahan akademik dalam Peraturan Pemerintah ini, karena mengacu pada Bab X UU Ciptaker  yang berjudul "Investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional".

Ada 9 PP yang dipersyaratkan, namun dalam konsideran PP 74 tahun 2020 ini hanya memuat 6 PP dari perintah UU Cipta kerja di Bab X  UU Ciptaker tersebut.

Antara lain menindaklanjuti perintah Pasal 157 ayat 8, 158 ayat (7), Pasal 159 ayat (6), Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (10), dan Pasal 171 ayat (3). Poin yang tidak dicantumkan adalah menindaklanjuti perintah Pasal 158 ayat (2) tentang perubahan pengurangan penambahan modal, Pasal 170 ayat (4) tentang penyertaan modal awal, dan Pasal 173 ayat (5) tentang pengadaan tanah dan perizinan berusaha bagi proyek strategis nasional.

Padahal 3 perintah PP yang dimaksud dalam Bab X UU Ciptaker tersebut sangat relevan dan urgent untuk dibuat peraturan lebih lanjut, guna terpenuhi syarat operasionalnya UU Ciptaker.

Kalaupun mau digeser tersendiri oleh PP LPI ini, bisa jadi hanya terkait Pasal 173 ayat 5 UU Ciptaker.

Setelah disisir, maka berdasarkan PP ini diketahui kini Modal LPI sebesar Rp 75 triliun (Pasal 3 ayat 3 PP LPI) yang awalnya di UU Ciptaker besaran ini tidak disebutkan.

Di UU Ciptaker hanya memuat soal pemberian modal awal ditetapkan paling sedikit Rp 15 triliun. Dan dalam PP ini telah ditetapkan modal LPI menjadi Rp 75 triliun.

Sehingga guna pemenuhan modal LPI sebesar Rp 75 triliun tersebut yang harus terpenuhi dalam rentang waktu di tahun 2021, perlu suntikan dana Rp 60 triliun lagi.

Sehingga terkesan aturan hukum berupa kelengkapan PP menjadi urusan belakangan. Hal yang diprioritaskan eksekusi adalah bunyi anggarannya, dari Rp 15 triliun menjadi dimodali sampai Rp 75 triliun.

Poin selanjutnya yang menjadi keresahan akademik dan perlu menjadi perhatian terkait Bab 7 Pasal 51 ayat (6) PP. Kalau modal LPI dalam pengoperasionalnya turun hingga 50% dari modal awal pemerintah, namun LPI membuat ketentuan dan syarat (Pasal 50 ayat 6 PP) dalam pembagian laba untuk pemerintah.

Untuk pembagian maksimal 30% dengan pemerintah bila akumulasi laba LPI ditahan telah melebihi 50% dari modal LPI. Itupun hanya dibagi pada pemerintah sebagian dari laba LPI.

Dalam pengoperasionalan LPI ke depan akan ada pembangunan berbagai macam. Misal gedung atau pengadaan inventaris sarana pendukungnya proyek strategis. Akan dilakukan melalui sistem apa pembangunan ini?

Apakah berdasarkan Perpres? Penunjukkan langsung atau Lelang mengikuti LKPP kah? Ini juga tampaknya belum dipertimbangkan secara matang dan tidak diatur secara jelas dalam PP ini.

Hal yang diatur hanya pengambil keputusan operasional LPI melalui rapat dewan direktur. Apakah ini berarti semua mekanisme operasionalnya cukup melalui rapat dewan direktur (Pasal 30 Jo Pasal 33 PP)? Ini juga perlu sangat hati-hati dan cermat, agar tidak terjadi kecemburuan sosial antarpengusaha.

Dalam Pasal 2 PP, LPU merupakan badan hukum yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah dan bertanggungjawab dengan Presiden. Namun, aset LPI merupakan milik dan tanggung jawab LPI, (Pasal 2 PP dan Pasal 37 ayat 2  PP).

Ini dikhawatirkan bias dan bermakna contradictio in conceptio. Bukannya dalam kepemilikan usaha itu yang penting aset? Kok dalam aturan ini lembaganya punya pemerintah namun aset punya LPI?

Apa ini tidak jadi masalah ke depannya, secara pemerintah memberikan ruang modal dan aset setara Rp 75 triliun plus kemudahan-kemudahan lainnya kepada LPI. Jadi ini juga perlu penjelasan kepada publik.

Dalam UU Ciptaker, LPI dinyatakan tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi, termasuk tidak berlakunya UU keuangan negara, UU kekayaan negara, dan UU BUMN (Pasal 164 ayat 2 UU Ciptaker).

Namun dalam PP ini diatur bila ada tuntutan pidana gugatan perdata maka dalam PP ini telah mengcover perlindungan bantuan hukum bagi organ LPI, termasuk bagi mantan anggota dewan direktur. Termasuk pula mantan pegawai LPI bila ada tuntutan pidana dan gugatan perdata (Pasal 71).

Klausula ini arahnya ke mana? Kok rasanya aturan PP ini tidak nyambung sebagai aturan lebih lanjut jika dikaitkan dengan cantolannya dalam UU Ciptaker?

Ada pasal yang mengatur keterbukaan informasi, namun mengatur pula tentang kerahasiaan di mana organ LPI dan pegawai wajib merahasiakan dokumen data dan informasi dalam pelaksanaan tugasnya (Pasal 68 dan Pasal 69). Ini dapat pula membingungkan organ internal LPI. Kalau ada pilihan begini pasti cendrung pilih yang aman dengan cara "merahasiakan".

Yang tak kalah pentingnya lagi terkait Pasal 43 PP, LPI menyimpan dan mengelola rekaman data untuk setiap investasi. Maka internet protokol dan aset artifisial ini semestinya dikelola negara.

Namun untuk IP dan domainnya punya siapa? Dan dari sini diketahui siapa yang mengendalikan pengelolaan rekaman data tersebut. IT property dan portal infrastruktur dipegang negara mana? Jangan-jangan fungsi LPI di sini hanya terbatas jadi pencatat. Bagaimana perlindungan rekaman data ini?

Semoga catatan kecil ini ada manfaatnya dan dapat menjadi perhatian serius. Karenanya harus teliti dan hati-hati, tidak boleh sesuka hati. Biarkan ada ruang dialektika ilmiah yang terbuka sebagai koreksi, masukan bagi pemerintah, khususnya LPI.

Guna tercapainya tujuan nasional menuju ekonomi nasional yang kuat dan terwujudnya visi Indonesia 2045, maka semua pihak harus benar- benar meletakkan landasan hukum yang kuat, semangat kejujuran, dan harus sinkron dengan sistem perekonomian nasional. Sebagaimana maksud UUD 1945 serta kedaulatan ekonomi dan berbasis dalam mengamankan keuangan negara demi keadilan sosial. rmol news logo article

Azmi Syahputra

Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA