Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menengok Nasib Nelayan Di Masa Pandemi

Jumat, 16 Oktober 2020, 14:25 WIB
Menengok Nasib Nelayan Di Masa Pandemi
Kader Muda Muhammadiyah dan Penerus Gerakan Al-Maun Institute, Fahmi Syahirul Alim/Net
HARUS diakui, pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat global, tak terkecuali Indonesia. Dan sektor ekonomi menjadi bagian yang paling terdampak secara sistemik dengan adanya pandemik ini, karena merupakan denyut nadi kehidupan.

Hal tersebut tentu berimbas pada semua profesi, terutama bagi mereka yang sangat rentan secara ekonomi dan selama ini termarginalkan dan kadang luput dari perhatian kita, yaitu kaum buruh, tani dan nelayan.

Dari tiga kelompok rentan tersebut, nelayan merupakan yang paling merasakan dampak langsung oleh pandemik ini, salah satunya dengan jatuhnya harga jual ikan hingga 50 persen. Jika kita melihat data yang dikumpulkan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada bulan April lalu, hampir semua nelayan di beberapa provinsi di Indonesia mengeluh dengan sulitnya menjual hasil tangkapan ikan di saat pandemi karena harga jual anjlok dan beberapa pengepul ada yang tutup karena sepi pembeli.

Ditambah lagi dengan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut langka di pasaran sehingga harganya tinggi. Hal ini tentu membuat para nelayan kecil dan nelayan tradisional semakin tertekan dan dilematis di saat pandemi ini.

Hal tersebut bertolak belakang dengan sektor pertanian yang pada saat pandemi tidak terlalu terdampak, malah mengalami pertumbuhan positif. BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) mengalami kenaikan. Adapun rinciannya yakni, NTP nasional Juli 2020 sebesar 100,09 atau naik 0,49 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Sementara NTUP nasional Juli 2020 sebesar 100,53 atau naik 0,28 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya (katadata.id).

Hal tersebut tentu sangat dimaklumi karena pertanian merupakan penyumbang kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga permintaan pasar pada hasil pertanian tetap stabil bahkan naik di masa pandemi ini. Berbanding terbalik dengan industri perikanan yang permintaan pasarnya menurun sehingga sangat berdampak pada nelayan kecil yang kebutuhan hidupnya sehari-hari bergantung pada penjualan ikan yang mereka tangkap.

Selain karena pandemi, rendahnya masyarakat dalam mengkonsumsi ikan dipercaya menjadi salah satu faktor yang membuat nasib nelayan kecil semakin tidak diuntungkan.

Menurut data Kementerian Kelauatan Perikanan, pada tahun 2019, konsumsi ikan masyarakat hanya mencapai 50.45 kg perkapita. Hal tersebut masih jauh dengan negara Asia lainya, seperti Malaysia yang konsumsi ikannya mencapai 70 kg per kapita per tahun, dan Singapura 80 kg per kapita per tahun, dan Jepang mendekati 100 kg per kapita per tahun (katadata.id)

Peran Vital Pemerintah Daerah dan Urgensi Kolaborasi

Melihat beratnya tantangan yang dihadapi oleh nelayan tradisional di saat pandemi ini, maka harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah dan para pemangku kepentingan lainya yang selama ini punya andil besar dalam industri perikanan. Karena nelayan ataupun pembudidaya ikan merupakan bagian penting penopang kedaulatan pangan nasional.

Dilansir dari pernyataan Dewan Pimpinan Pusat KNTI, produk perikanan di Indonesia menyediakan 54 persen dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi masyarakat. Tidak hanya itu, tapi juga menciptakan lapangan kerja, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pesisir.

Namun sayangnya, menunut pernyataan organisasi nelayan tradisional tersebut, meskipun peranannya dalam ekonomi negara cukup besar, di sisi lain kondisi kehidupan nelayan atau keluarganya belum sepenuhnya sejahtera. Menurut data yang mereka peroleh, 2,7 juta nelayan di Indonesia turut menyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional pada 2017, karena mayoritasnya hidup di ambang batas garis kemiskinan. Data lain juga menyebutkan sekitar 53 persen keluarga di wilayah pesisir hidup di bawah garis kemiskinan (www.knti.or.id).

Melihat fakta di atas, di tambah lagi dengan situasi pandemi saat ini, perlu langkah-langkah nyata dan taktis agar nasib nelayan kecil tidak semakin terpinggirkan. Semua sektor baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah harus saling bersinergis dengan pihak-pihak yang selama ini memiliki concern terhadap isu nelayan atupun industri perikanan.

Baik organisasi kemasyarakatan, perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta, dorong mereka itu berkolaborasi mengatasi problem yang dihadapi oleh nelayan. Terutama pemerintah daerah yang memang paling dekat dan paling memahami kondisi masyarakatnya di lapangan.

Pemerintah daerah memiliki peran vital dalam membantu nelayan kecil yang sangat terdampak oleh pandemi ini, salah satu dengan mendorong nelayan di daerah untuk dapat mengakses subsidi BBM. Kita tahu ada Undang-Undang no 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang dapat menjadi harapan para nelayan di saat pandemi ini, salah satunya terkait subsidi BBM.

Namun di sisi lain, ada Peraturan BPH Migas Tahun 2019, yaitu untuk mendapatkan BBM bersubsidi, para nelayan harus memiliki surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kepala Perangkat  Daerah/Kepala Pelabuhan Perikanan/Lurah/Kepala Desa. Untuk medapatkan surat rekomendasi tersebut tentu ada hal-hal administrasi yang harus dilengkapi oleh para nelayan.

Dan menurut Dani Setiawan, Ketua Harian DPP KNTI, salah satu penyebab kesulitan ini adalah ketidakmampuan nelayan mengakses surat rekomendasi untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Kondisi ini menurutnya dialami sekitar 78 persen nelayan yang disurvei, atau sekitar 1.600 orang (RMOL.ID).

Oleh karena itu, perlu kiranya aparat pemerintah daerah sebagai ujung tombak di lapangan mensosialisasikan dan mendorong para nelayan untuk dapat mengakses BMM subdsidi tersebut, gencarkan kolaborasi dengan sektor-sektor terkait agar nelayan kecil mudah memperoleh surat rekomendasi di atas.

Edukasi dan bantuan untuk hal-hal teknis penyiaapan administrasi untuk para nelayan misalnya  dapat melibatkan organisasi kemahasiwaan ataupun kepemudaan di daerah yang masih memiliki keleluasaan waktu, memiliki ilmu yang cukup dan semangat juang yang tinggi untuk membela kaum mustad’afin.

Kolarabasi antar sektor menjadi peranan penting dan menjadi kunci utama dalam merubah nasib nelayan kecil di saat pandemi ini. Seperti yang disampaikan oleh Muhammad Riza Adha Damanik, Ketua Umum DPP KNTI “Laut Indonesia sangat luas, karenanya membutuhkan kolaborasi yang luas”. Begitupun di masa pandemi ini, semoga kolaborasi yang luas dan nyata dapat meringankan beban para nelayan. Semoga. rmol news logo article

Fahmi Syahirul Alim
Kader Muda Muhammadiyah dan Penerus Gerakan Al-Maun Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA