Sang purnawirawan memberi saran, jika ingin Pilkada serentak ditunda, maka usulkanlah kepada Presiden dengan pengecualian. Pilkada Solo dan Medan boleh jalan terus.
Dijamin usulan itu akan langsung diterima Jokowi.
Win-win solution. Rakyat
happy, Jokowi lebih
happy lagi.
Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, juga KAMI tak perlu marah-marah, kesal dan kehilangan muka.
Usulan agar Pilkada serentak ditunda didengar Presiden. Marwah dan kehormatan sebagai organisasi besar di depan umat tetap terjaga.
Presiden juga bisa dengan riang gembira menyambutnya. Kepentingan politiknya menjaga hubungan baik dengan rakyat dan umat tetap terjaga.
Satu masalah besar terselesaikan. Tak perlu menambah masalah baru, di tengah kebingungan pemerintah mengambil keputusan: mendahulukan kesehatan atau ekonomi
Guyon, bercanda, jangan terlalu serius adalah resep paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan tubuh di tengah pandemi.
So, sekali lagi, jangan terlalu serius setiap kali mendengar pengumuman pemerintah,
wabil khusus Presiden Jokowi.
Ketika Presiden Jokowi menyatakan perang melawan Covid. Ketika Presiden marah-marah kepada para menteri. Mau membubarkan lembaga, dan
reshufle kabinet. Ketika Presiden Jokowi menyatakan akan mengutamakan kesehatan di atas ekonomi, juga tidak terlalu serius-serius amat kok.
Mengapa kita harus serius? Memangnya siapa yang jadi Presiden? Siapa yang bakal paling disalahkan? Dimintai pertanggung-jawaban bila terjadi apa-apa pada bangsa ini?
Dalam budaya Jawa yang penuh
pasemon (sindiran halus), guyon-guyon
parikeno, alias bercanda sambil menyindir telak, jadi formula yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini.
Saat pemerintah alergi dengan kritik. Saat kritik bakal dibully oleh buzzer. Saat kritik bisa berujung dilaporkan ke polisi dan berakhir di bui. Jangan terlalu serius. Bercanda lah.
Tak perlu khawatir terkena UU ITE. Pesan tetap tersampaikan. Apakah saran lewat sindiran itu diterima dan dilaksanakan, itu soal lain. Bukan urusan kita.
Sarat KepentinganSulit untuk menafikan, keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi, sarat dengan kepentingan. Mulai dari kepentingan politik pribadi, kelompok, maupun golongan.
Kepentingan ekonomi para elit politik tingkat nasional, lokal, dan kepentingan para pemilik modal.
Karena anak dan menantu ikut berlaga di Pilkada Solo dan Medan, sangat sulit untuk membantah, Jokowi dan keluarga, punya kepentingan langsung Pilkada tetap dilaksanakan.
Ini momentum paling pas menjaga dan memastikan anak dan menantunya yang miskin pengalaman politik, untuk terpilih.
Nasib Gibran di Solo dan Bobby Nasution di Medan tidak semata bergantung pada garis tangan. Tapi yang paling penting, campur tangan.
Mumpung Jokowi masih menjadi Presiden. Mumpung masih punya pengaruh besar mengendalikan parpol dan organ-organ kekuasaan.
Semuanya itu erat kaitannya dengan bisnis pengaruh. Bahasa kerennya,
business of influence.
Jika harus ditunda, momentum akan lewat. Dengan pandemi yang kian tak terkendali. Covid mulai menggigit elit.
Mulai dari menteri, Ketua KPU, wakil gubernur, walikota, bupati, dan rektor perguruan tinggi, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Pilkada memang beda dengan Pilkades. Mendagri Tito Karnavian dengan mudahnya mengumumkan semua Pilkades ditunda. Pilkada tidak.
Di Pilkades tidak ada cukong politik yang punya kepentingan. Paling banter pensiunan lurah-kalau di Jawa disebut sebagai lurah dongkol-yang punya kepentingan.
Di Pilkada,
wabil khusus Pilkada serentak kali ini, banyak sekali kepentingan yang berkelindan.
Sekarang atau tidak sama sekali, ya Pak Jokowi?
BERITA TERKAIT: