Hadits yang bernada serupa yang sering dikutip oleh para pegiat HAM dan tokoh-tokoh humanis antara lain: "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberi manfaat bagi manusia atau kemanusiaan".
Oleh para mubaligh, hadits ini sering digandengkan dengan ayat Al Qur'an yang berbunyi: " Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa" (Al Hujurat: 13).
Bagi para ilmuwan sosial, hadits dan ayat Al Qur'an di atas dijadikan landasan untuk menempatkan Islam sebagai agama yang sangat egaliter sekaligus humanis. Egaliter dalam pengertian persamaan kedudukan atau derajat manusia, dan tidak membedakannya karena keturunan, atau karena perbedaan warna kulit.
Pertanyaannya kemudian, dari mana asal atau sebab-musabab munculnya strata sosial berdasarkan darah atau keturunan di banyak negara Arab? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menyepakati terlebih dahulu siapa sebenarnya yang dumaksud Arab.
Ada banyak teori tentang suku-suku Arab, yang bila disederhanakan dapat dibagi menjadi: Pertama, Arab Al Aribah atau Arab murni yang berasal dari keturunan Ya'rub bin Yashjub bin Qathan, dikenal dengan sebutan Arab Qahtani.
Mereka merupakan keturunan Nabi Hud yang banyak menetap di jazirah Arab bagian Selatan yang dikenal dengan Yaman.
Kedua, Arab Al Musta'ribah atau Arab pendatang, yaitu suku-suku yang berasal dari keturunan Ma'ad bin Adnan, yang dikenal dengan Arab Ma'adi atau Arab Adnani.
Mereka berasal dari keturunan Nabi Ismail dari Ibu Bani Jurhum, banyak berdomisili di wilayah Hijaz khususnya di sekitar Ka'bah.
Setelah datangnya Islam, semangat tabliq dan dakwah menggerakkan bangsa Arab ke banyak kawasan, terutama di Asia Tengah, Asia Barat, Asia Selatan dan Afrika Utara.
Didukung oleh semangat yang tinggi, tentara yang kuat, belakangan oleh kemajuan ekonomi serta penguasaan sain dan teknologi ikut menopang, sehingga wilayah kekuasaan Islam berkembang luas dengan sangat cepat.
Wilayah-wilayah dengan peradaban lebih rendah kemudian ter-Arab-kan, atau mengelamai Arabisasi.
Jadi negara-negara yang saat ini tergabung dalam Liga Arab sebagian besar karena proses ini. Ciri-cirinya, mereka mengadopsi bahasa, pakaian, selera makan, seni, termasuk sastra, musik, dan arsitektur yang melekat pada bangsa Arab.
Sementara bangsa-bangsa dengan peradaban setara atau lebih tinggi, seperti Persia, Turki, dan India hanya mengalami akomodasi atau asimilasi terbatas. Mereka tetap menggunakan bahasa sendiri, sedangkan pakaian, selera makan dan seni mengalami pengayaan saat bersentuhan dengan budaya Arab.
Masalah kuatnya pertalian darah atau keturunan, disamping menjadi bagian dari sejarah dan budaya suku-suku Arab yang hidup di padang pasir, juga muncul sebagai bagian dari budaya politik baru yang dikembangkan oleh Bani Umayyah (pasca Khalifahurrasyidin) sejak Muawiyah berkuasa, dilanjutkan oleh Abbasiah, dan terus bertahan sampai sekarang.
Bahkan di era Abbasiah lebih parah lagi, karena Dinasti Abbasiah yang dibangun oleh keturunan Abbas tumpang-tindih dengan keturunan (lazim disebut duriah atau duriat) Rasulullah.
Di era ini hubungan darah atau silsilah keturunan, akan sengat menentukan strata sosial termasuk karier seseorang di kerajaan (khilafah). Dengan kata lain dalam sistem politik dinasti, akses politik sangat ditentukan oleh hubungan darah atau keturunan.
Berarti dapat dikatakan, sejatinya hanya di era Rasulullah dan para sahabat yang kehidupan pribadi maupun sosialnya sangat diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Pada saat ini nilai-nilai Islam mampu meredam kultur kabilah yang sudah mendarah-daging bagi bangsa Arab.
Sedangkan setelah era Rasulullah dan para sahabat, semangat dan kultur pra-Islam kembali muncul dan menenggelamkan nilai-nilai Islam, khususnya dalam politik yang ditandai oleh munculnya politik dinasti atau dinasti politik.
Apa yang terjadi dan dialami bangsa Indonesia, sangat berbeda dengan dua bentuk proses yang dialami oleh bangsa-bangsa yang berada di sekitar jazirah Arab. Secara geografis Indonesia sangat jauh, sementara wilayahnya yang berbentuk kepulauan dan didominasi oleh laut.
Ketika kapal laut menjadi sarana tranportasi antar bangsa, wilayah Indonesia menjadi tempat perlintasan (melting point). Bangsa-bangsa besar seperti Eropa, Arab, Turki, Persia, India, dan China ikut mewarnai sejarah dan budaya kita.
Hal inilah yang membentuk karakter dan budaya bangsa Indonesia, disamping akomodatif juga sangat luwes dan elastis.
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: