Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengatasi Bencana Kolosal Covid-19: Kembali Ke Jalan Tuhan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Senin, 06 April 2020, 10:32 WIB
Mengatasi Bencana Kolosal Covid-19: Kembali Ke Jalan Tuhan
Ilustrasi/Net
MANAJEMEN bencana diungkap secara rinci dalam Kitab Suci. Kuncinya bukan #LawanCovid-19 melainkan  #SelamatkanUmat seperti dicontohkan Nabi Nuh dan Nabi Yusuf.

COVID-19 dari negeri komunis China itu bagaikan laskar iblis yang bengis, menebar maut di mana-mana. Dunia gemetar. Di Indonesia semula disepelekan dan dibuat bahan bercandaan oleh hampir semua anggota kabinet.

Maka ketika iblis itu datang dari segala penjuru angin, semua blingsatan. Bikin pemerintah terus salah langkah. Bahkan untuk hal paling elementer, seperti menjelaskan penggunaan masker, terus berubah-ubah. Rakyat jadi kehilangan arah. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dalam situasi yang kian mencekam.

Padahal ketika ilmu pengetahuan tak bisa memecahkan persoalan, lebih baik kembali ke jalan yang sudah digariskan Tuhan. Karena di alam semesta ini, Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. Siang dengan malam, laki-laki dan perempuan, begitu juga persoalan, dilengkapi dengan jawaban.

Dalam Kitab Suci umat Islam, kenyataan bahwa Tuhan mencipatakan persoalan sekaligus jawaban bahkan ditegaskan dua kali secara berurutan dalam Surah Alam-Nasyrah (QS 94:5 dan 6).

"Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (fa-inna ma'al 'usri yusran). Inna ma'al 'usri yusran (sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan).

Lalu kenapa ketika menghadapi virus komunis China Covid-19 bukan hanya rakyat Indonesia, bahkan bangsa di negara-negara super maju blingsatan sehingga korban yang berjatuhan jadi begitu banyak?

Sudah terlalu lama kita hidup di “jalan politik’ dan “jalan ekonomi” atau gabungan dari keduanya, sehingga yang diikuti hanya rambu politik dan rambu ekonomi. Jalan Tuhan (agama) hanya dipakai para calon pengantin saat menuju pelaminan, atau ketika mengantar jenazah ke pemakaman.

Kita mengira semua hal bisa diatasi oleh akal, semua persoalan bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan, dan semua musuh bisa dibikin luluh. Padahal sebelum melangkah lebih jauh, kita harus pandai-pandai memilah, dan menaruh persoalan dan yang harus dilawan secara proporsional, sesuai karakteristik persoalan, dan jenis serta sifat musuh yang mau dilawan.

Mengacu kepada Kitab Suci [Taurat, Injil dan al-Qur’an] secara garis besar membagi persoalan dan musuh dalam dua jenis. Pertama, persoalan yang bisa dipecahkan dan musuh yang bisa dilawan. Kedua, persoalan dan musuh yang cara mengatasinya dengan menjauhi atau menghindarinya.

Persoalan yang bisa diatasi oleh ilmu pengetahuan adalah yang terkait dengan hasrat keduniawian secara individual. Mempercepat perjalanan agar lekas sampai melahirkan inovasi sarana dan alat transportasi. Hasrat hidup nyaman bisa dipenuhi dengan merancang pengatur suhu udara, televisi, arsitektur, dan lain-lain.

Ketika problem menyangkut lebih banyak orang (sosial), seperti kemiskinan, kebodohan dan (ancaman) konflik sosial, cara mengatasinya dengan kebijakan (pemimpin) pemerintahan. Keadilan sosial.

Apabila persoalannya terkait bencana (alam maupun non-alam), Kitab Suci memberi petunjuk lewat risalah para nabi. Paling monumental kisah Nabi Nuh dengan bahtera dan banjir besar, dan Nabi Yusuf (Yusuf putra Yakub) dengan kisah 7 sapi gemuk dan 7 sapi kurus sebagai simbol 7 tahun masa subur yang akan dilahap 7 tahun masa paceklik.

Nabi Nuh dan Nabi Yusuf adalah peletak dasar ilmu manajemen bencana (Disaster Management) yang bermula pada kemampuan menbaca tanda-tanda alam (yang disampaikan Tuhan melalui wahyu) untuk kemudian merancang cara selamat dari bencana.

Tantangan yang dihadapi Nabi Nuh berupa hujan badai berhari-hari memang menggetarkan nyali. Sedangkan Nabi Yusuf harus mengatur hal-hal yang rumit dan rigid.

Membuat lumbung dan mengontrol produksi pertanian di antero Mesir. Menyiapkan administrasi, SDM, termasuk intelijen dan uang untuk membeli produk pertanian rakyat sambil tetap mengontrol harga dan kemungkinan adanya penimbunan serta korupsi di kalangan aparatus negara.

Akan tetapi baik manajemen bencana a la Nabi Nuh maupun model Nabi Yusuf bertumpu pada tujuan yang sama: #SelamatkanUmat. Bukan #LawanBencana.

Memang akan berbeda implementasi dari konsep #SelamatkanUmat dan #LawanBencana. Menyelamatkan umat bertumpu pada (manajemen) kesiapan logistik (sarana dan prasarana), sedangkan konsep perlawanan memerlukan strategi dan alutista memadai.

Dalam Kitab Suci, kita memahami kedekatan para nabi dan rasul dengan Pemilik dan Penggerak Alam Semesta Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi mereka tidak melawan kehendakNya dengan, misalnya, menggelar ritual untuk meminta pembatalkan bencana yang akan didatangkan di muka bumi.

Bahkan Nabi Luth pun mengikuti perintah untuk menyingkir dari Sodom dan Gomorah saat kedua kawasan itu diluluh-lantakkan Tuhan.

Lalu bagaimana kita menghadapi Covid-19?

Untuk menentukan langkah menghadapi Covid-19, apakah menggunakan konsep #SelamatkanUmat atau strategi #LawanCovid-19, harus ditentukan dulu Covid-19 ini mahluk apa, dan bagaimana sifatnya.

Covid-19 ini adalah mahakarya iblis dari negara komunis. Iblis dan komunis memiliki tujuan sama: menjauhkan umat manusia dengan penciptanya, dan memusnahkan manusia yang bukan pengikutnya.

Dalam Kitab Suci, sebelum diusir Tuhan dari Taman Surga karena iri kepada manusia (Adam), Iblis berikrar di hadapan Tuhan akan menyesatkan umat manusia agar menjauhi Sang Pencipta.

Meskipun Iblis benar-benar membuktikan ancamannya dan berhasil menyesatkan manusia (Adam & Hawa) hingga Tuhan mengusir mereka dari Taman Surga, dicampakkan ke muka bumi, tapi para nabi dan rasul yang diutusNya ke muka bumi tidak dibekali “alutista” untuk menumpas iblis.

Nabi dan para rasul hanya dibekali “vaksin” berupa ayat-ayat yang dikemas dalam Kitab Suci (agama) untuk menguatkan hati (imunitas) dan iman umat manusia agar kebal terhadap godaan iblis (syetan).

Namun mengingat kekuatan hati (iman) umat manusia tidak sama, sehingga daya kerja “vaksin” juga berbeda, ada agama (Islam) yang memilih memerintahkan umatnya untuk menjauhi “pangkapan syetan” (jinah, minuman keras dan narkoba) yang bisa menembus benteng keimanan.

Karena Covid-19 ini memiliki sifat-sifat iblis, menebar kecemasan dan rasa takut, dan ketidakjelasan sosoknya, maka untuk menghadapinya tidak ada jalan lain kecuali memakai konsep #SelamatkanUmat. Untuk itu, kuncinya kesiapan logistik.

Ulama (tokoh keagamaan, tokoh masyarakat) dan Umaro (pemimpin pemerintahan, elite politik) harus bekerja sama. Ulama menambah dosis “vaksin” keagamaan untuk penguatkan rohani (iman), sedangkan Umaro membuat kebijakan untuk “penguatan jasmani”, antara lain menjaga ketersediaan pangan, pembatasan mobilitas, menyiapkan tenaga dan fasilitas medis, dll.

Manusia tidak akan sanggup melawan Covid-19, mahakarya Iblis dari negara komunis (China), kecuali menghindarinya. Menjaga keselamatan rakyat yang utama. Kepemimpinan yang bermartabat dan berperikemanusiaan sarananya.

Covid-19, Iblis dan komunis tak bisa dikalahkan, tapi bisa disingkirkan dengan kekompakan kita semua. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA