Berikutnya berturut-turut antara: Ali bin Abhi Thalib (600–661), Hasan bin Ali (625–669), Husain bin Ali (626–680), Ali bin Husain (658–713), Muhammad bin Ali (676–743), Ja'far bin Muhammad (703–765), Musa bin Ja'far (745–799), Ali bin Musa (765–818), Muhammad bin Ali (810–835), Ali bin Muhamad (827–868), Hasan bin Ali (846–874).
Sedangkan Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi yang menghilang dan diyakini dikemudian hari akan muncul kembali untuk mengantarkan kemenangan.
Seorang Imam diyakini memiliki makam (kedudukan) istimewa dalam dimensi spiritualitas, sampai-sampai pada sebagian kelompok ekstremnya meyakini bahwa seorang Imam memiliki sifat yang maksum (bebas dari kesalahan) dan dapat berhubungan langsung dengan yang di langit sebagaimana para Nabi.
Implikasinya, keluarga para Imam yang juga keturunan dan memiliki pertalian darah dengan Rasulullah, yang disebut duriah atau duriat, memiliki status sosial yang tinggi di komunitasnya, sekaligus mendapatkan previladge baik dalam urusan ukhrawi maupun duniawi.
Sebagian besar para Imam ini hidupnya penuh penderitaan bahkan berujung dengan kematian yang tragis. Dalam dunia politik terkait dengan kekuasaan, mereka mengalami kekalahan bertubi-tubi.
Akibatnya, komunitas Syi'ah seringkali mengalami penindasan oleh penguasa, sehingga penderitaan demi penderitaan terus-menerus mewarnai kehidupan komunitas ini.
Realitas inilah yang mendorong munculnya Takiah (melindungi diri atau bertahan) sebagai cara atau taktik untuk survive. Oleh penganut Sunni, taktik ini secara peyoratif dianggap sebagai sikap munafik bagi penganut Syi'ah.
Penderitaan berkepanjangan juga membentuk budaya tersendiri yang terlihat dengan tradisi menyakiti diri (niyahah) yang kerap ditampilkan saat memperingati hari-hari yang disucikan, khususnya saat mengenang kematian Husein di hari Assyura.
Disamping itu, juga terlihat dari warna hitam yang akrab bagi penganut Syi'ah, sebagai tanda berkabung dan ekspresi kepedihan mendalam. Berbeda dengan penganut Suni yang akrab dengan warna putih yang identik dengan kebersihan atau kesucian.
Tampilnya Ayatullah Khomaini yang memimpin revolusi Iran yang menumbangkan rezim diktator Reza Pahlevi tahun 1979, menyebabkannya tampil beda dibanding imam-imam Syi'ah sebelumnya.
Khomaini disamping ditempatkan sebagai pemimpin agama juga sekaligus sebagai pemimpin politik. Jika para imam sebelumnya mengalami kekalahan dalam panggung politik, maka Khomaini mengantarkan kemenangan nyata dan rezim yang dibangunnya mampu bertahan sampai sekarang.
Karena itu, kini Khomaini menjelma menjadi tokoh atau imam baru yang disucikan. Bahkan bukan mustahil ke depan akan lebih agung dari sejumlah imam yang pernah hidup di Iran.
Keagungan Khomaini terlihat dari kompleks makamannya yang berlokasi di pinggiran kota Teheran yang sangat luas, dengan masjidnya yang besar dan indah, serta para penziarah yang tidak pernah berhenti sepanjang hari.u
Dibanding makam-makam lain yang disucikan di Iran, seperti makam cicit Nabi Sayidah Fatimah Al Maksumah di kota Qom, dan makam Imam Reza di kota Mashad, maka makam Khomaini lebih luas, lebih indah, dan lebih banyak penziarahnya.
Sejalan dengan kemenangan demi kemenangan politik yang dialami Iran di kawasan Timur Tengah, pengagum sekaligus pemuja Khomaini semakin luas, khususnya yang berada di Iran, Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain.
Apakah nantinya keagungan makam Imam Khomaini akan mengalahkan makam Imam Ali di kota Najaf (Irak), dan makam Husein di kota Karbala (Irak)?
Wallahua'lam.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: