Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Simpang Siur Terminologi Politik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Minggu, 16 Februari 2020, 06:42 WIB
Simpang Siur Terminologi Politik
Jaya Suprana/Net
TERMINOLOGI politik kerap bernasib naas mengalami perubahan makna ke arah negatif akibat dibebani kesan buruk. Lazimnya pergeseran makna diprakarsai pihak yang tidak suka terminologi politik tertentu yang dianggap berbahaya mengancam kewibawaan penguasa.

Istilah


Istilah komunisme semula sekadar istilah sistem ekonomi. Namun makna istilah komunisme digeser ke arah politik dengan konotasi buruk oleh Amerika Serikat yang pada masa pasca Perang Dunia II memang bermusuhan dengan Uni Sowyet, RRC, Korea Utara, Vietnam dan Kuba.

Pada masa pasca G30S giliran pemerintah Indonesia menggunakan istilah komunis akibat fobia terhadap Partai Komunis Indonesia.

Sama dengan masa McCarthy di Amerika Serikat maka masa Orba di Indonesia juga melancarkan gerakan anti-komunisme secara radikal rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Pokoknya komunisme harus dibasmi!

Ayah kandung saya yang sama sekali tidak mengerti paham komunis, maka sama sekali bukan anggota PKI mau pun segenap sub-lembaganya telah diculik oleh entah siapa saja dan entah ke mana. Sampai sekarang, tidak diketahui bagaimana nasib beliau.

Setelah Orba diganti oleh Orde Reformasi, maka penguasa mencari terminologi politik lainnya untuk distigmakan pada mereka yang dianggap musuh negara. Karena kebetulan kemudian Amerika Serikat memusuhi Islam, meski mayoritas populasi Indonesia adalah muslim malah Indonesia tidak mau ketinggalan memusuhi Islam dengan imbuhan embel-embel sebutan “radikal”.

Predikat radikal yang semula disematkan oleh penjajah kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang radikal memusuhi kaum penjajah. Pada masa Orde Reformasi sebutan radikal disematkan ke sesama rakyat Indonesia yang dianggap tidak sepaham dengan pemerintah.

Alhasil, Islam di Indonesia terbelah berdasar anggapan menjadi yang dianggap radikal dan dianggap tidak radikal. Di masa kini makna istilah populisme juga dibelokkan ke arah negatif merongrong demokrasi ketimbang positif mengutamakan kepentingan rakyat.

Liberalisme


Terbatas pada kaum cendekiawan yang merasa mengerti politik, muncul pula istilah baru untuk dimusuhi, yaitu liberalisme. Istilah liberalisme digunakan dalam makna negatif seperti misalnya kebebasan kebablasan atau bahkan anarki.

Jika ada pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah maka harus siap dituduh sebagai kaum liberal yang ingin mengacaubalau negara. Bahkan ekonomi kerakyatan Mubyarto yang semula sempat dihujat sebagai aliran komunis juga kemudian ikut disebut sebagai aliran liberalisme yang tidak Pancasilais.

Pendek kata penguasa dan para pendukung penguasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membunuh karakter mereka yang dianggap membahayakan kewibawaan serta kekuasaan penguasa dengan istilah-istilah politik yang sengaja dikelirukan demi ampuh menimbulkan kesan buruk bagi pihak lawan politik penguasa.

Maka nasib terminologi politik liberalisme yang semula bermakna “sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama” kemudian dikeliru-tafsirkan sebagai istilah yang bunyinya sama namun bermakna buruk terhadap negara, bangsa dan rakyat Indonesia. rmol news logo article

Penulis adalah pembelajar pemikiran politik 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA