Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kabinet Yang Memahami Tantangan Indonesia: PR Untuk Presiden Ir. Joko Widodo 2019-2024

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Minggu, 20 Oktober 2019, 00:28 WIB
Kabinet Yang Memahami Tantangan Indonesia: PR Untuk Presiden Ir. Joko Widodo 2019-2024
Natalius Pigai/Net
BANYAK bangsa iri hati kepada bangsa ini, nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, Miangas di Utara sampai Rote Sabu Raijua Ujung Selatan, terdiri gugusan kepulauan sebanyak 17 ribu lebih pulau, di dalamnya berisi sumber daya alam yang melimpa ruah.

Namun kita menyaksikan hutan-hutan kita dicuri, rampas dan rampok (ilegal loging), ikan-ikan di laut dan segala biota dicuri (ilegal fisihing), sumber daya alam di atas bumi dan perut bumi dijarah (ilegal Mining) komprador asing, aseng dan negara. Hegemoni mereka terlalu tinggi! Rakyat merana di atas kelimpahan. Ibarat tikus mati di lumbung padi.

Letak geografis yang strategis, berada di antara 2 benua, Australia dan Asia, diapit 2 Samudera menjadi letak yang strategis sebagai lintasan mobilitas barang, jasa, dan orang dari Eropa ke Pasifik dan Asia Timur, juga Australia ke Asia.

Apapun alasannya Indonesia berada dalam ancaman. Kita diancam 13 musuh tetangga, merongrong wilayah batas terluar negara dijadikan pusat penyeludupan orang (traficking), penyeludupan barang (smugling), dan pusat transaksi narkotika.

Konflik kawasan mengancam geopolitik kita secara serius. Soal laut China Selatan, konflik psikologis Australia dan Asia, pergolakan bangsa Moro di Filipina, perjuangan bangsa Melayu di Jala, Patani dan Naratiwat di Thailand Selatan dan berbagai konflik regional yang mengitari kawasan ini.

Jangan anggap remeh, karena sejarah dunia telah membuktikan bahwa sebuah negara baru lahir juga bubar tidak hanya karena perjuangan semesta tetapi juga momentum. Momentum di mana konflik kawasan mampu membentuk peta dan geopolitik baru.

Sejarah telah mengajarkan kita bahwa tidak mustahil bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan jika tahun 1942 Jepang tidak menyerbu Honolulu, Amerika mengamuk mengusir Jepang melalui lautan Pasifik, Bom Atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.

Invasi Jepang di Indonesia dan Belanda terusik. Adanya kekosongan kekuasaan, Laksamana Maeda memerintahkan pembentukan Dokuritsu Jumbi Zusakai, Panitia Persiapan Kemerdekaan. Konflik dan perang antara blok Barat dan Timur telah menghasilkan ratusan negara-negara baru di abad-19. Baik di Afrika, Asia, juga di Amerika Latin. Oleh karena itu, jangan main-main.

Hari ini juga China penetrasi ke Asia Tenggara, Singapura telah jatuh, kawasan Pasifik mulai diintai, kawasan Afrika, Sri Langka dan Maladewa nyaris jatuh ditangan China. Artinya Samudera India di ufuk barat Indonesia akan dikendalikan tangan bangsa China musuh bebuyutan India.

Bukan mustahil konflik di masa depan adalah Lautan Andaman dan Teluk Benggali. Apalagj nilai histori bahwa bangsa Sino Tibetian dan Austro Asiatik di Thailand dan Myanmar memiliki sejarah yang panjang dengan bangsa Mongol di China.

Sebagai negara yang memiliki labilitas integrasi nasional, dibutuhkan kekuatan pertahanan yang tangguh. Kekuatan pertahanan tidak hanya terdapat pada:
1. Jumlah dan Profesionalisme Militer.
2. Alat Utama Sistem Persenjataann (Alutsista) militer yang memenuhi atau melampui kekuatan minimum (minimum esensial Force).
3. Kekuatan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya yang tangguh.
4. Kekuatan rakyat Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa militer hanya menjadi garda depan integrasi teritorial dengan mengedepankan pertahanan doktrin unitarian NKRI.

Militer tidak pernah mempu bersuara atau berbicara menekan pemerintah tentang pentingnya keadilan sosial. Tidak mungkin Negara Kasatuan akan utuh tanpa keadilan sosial. Sebaliknya keadilan sosial merekatkan jiwa nasionalisme dan integritas sosial.

Sudah 73 tahun kita tersandera dan berbicara terus menerus tanpa henti tentang NKRI harga mati. Spanduk di depan kantor-kantor militer, atau reklame, baliho militer terpampang di sudut-sudut jalan NKRI Harga Mati. Tetapi mana tulisan keadilan, kesehatan, pendidikan dan sandang, pangan dan Papan sebagai keadilan sosial harga mati?

Kita tidak ingin militer menjadi panglima dalam perang juga panglima dalam pembangunan, seperti sistem binomial pada masa orde baru. Tetapi sejatinya mereka menekan pemerintah akan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengapa Indonesia sampai pada umur 74 tahun masih berdiskursus tentang pentingnya pembangunan karakter kebangsaan (nation and character building). Masih berbicara tentang jati diri bangsa. Masih berbicara tentang pemilik negeri dan bukan pemilik negeri. Masih berbicara tentang nilai-nilai fundamental. Kita juga masih berbicara tentang adanya labilitas integrasi nasional dan integrasi sosial.

Ketidakharmonisan bangsa ini bertahan begitu lama. Salah satu sumber dan pemicu persoalannya adalah tiap pemimpin di negeri ini mengklaim diri sebagai sentrum utama nasionalisme, sumber nasionalisme.

Presiden klaim diri pusat nasionalisme berada di singgasana kekuasaan di istana negara dan pemegang kekuasaan, sedangkan rakyat dianggap bukan nasionalis. Seakan-akan pusat nasionalisme hanya deliver dari Soekarno ke Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, dan Jokowi saat ini. Sementara rakyat dianggap bukan pemilik nasionalisme.

Bahaya akibat nasionalisme personifikasi individu para pemegang kekuasaan menjustifikasi dan bahkan memperlebar segregasi antara pemerintah dan rakyat, dimana rakyat termarjinalkan dari mainstream utama nasionaliame dan bahkan dianggap bukan nasionalis.

Akibatnya hari ini kita menyaksikan jutaan rakyat muslim turun ke jalan-jalan protokol menuntut keadilan, orang-orang pinggiran di Papua, Aceh, dan Kalimantan berjuang mempertahankan identitasnya. Inilah problem kebangsaan kita saat ini. Karena nasionalisme hanya diklaim milik segelintir elite politik di negeri ini.

Perilaku arogan yang dipertontonkan di negeri ini dengan ada yang mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa Bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama.

Laksamana Malahyati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Pattimura di Ambon. Demikian pula ada 7 Pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo, dll, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.

Para pejuang ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru. Raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial.

Padahal dalam sejarah kolonial, hanya 1 orang Raja yang diesksekusi mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Pius Wasi Wangge di eksekusi di Kupang. Namun hari ini kesultanan Yogya dan Kesunanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!

Apa yang perlu kita lakukan hari ini, rakyat Indonesia harus bersatu melawan dan menentang nasionalisme personifikasi individu menjadi nasionalisme tanah air dan bangsa. Karena nasionalisme menyatakan pertautan perasaan identitas diri dan keanekaragaman sebagai mosaik Indonesia. Nasionalisme juga bersatu karena kita mengalami trauma dan tragedi yang sama pada masa lampau (renan).

Atas nama nasionalisme membungkam lawan-lawan politik adalah salah. Atas nama nasionalisme menerkam rakyat juga tentu tidak bisa dibenarkan.

Ironi di negeri ini. Di Jerman, Hitler yang tampil sebagai pemimpin yang kejam membunuh 6 juta Bangsa Yahudi tidak pernah mengklaim diri pusat nasionalisme, juga bukan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kanselir Jerman. Tetapi Hitler membela bangsanya yaitu bangsa Prusia, berjuang demi harga diri bangsa Prusia.

Demikian pula di Rusia dimulai dari restrukturisasi Rusia melalui grasnot, demokratizaya dan preostroyka dan akhirnya juga negara Rusia melepaskan beberapa negara pecahan di Eropa Timur dan 3 negara di Kaukasia Selatan pada 1991 juga untuk mempertahankan bangsa Rusia seperti sekarang ini.

Revolusi Prancis adalah juga mempertahankan bangsa Perancis dan restorasi Meiji di Jepang terjadi setelah penjajahan Jepang terhadap China dan kemenangan Jepang atas perang Manchuria menghadapi Rusia dan Jerman juga untuk mengangkat harga diri dan nasionalisme bangsa Jepang. Bukan untuk mempertahankan citra atau kekuasaan Meiji dan kawan-kawan yang menjadi pemimpin perang.

Oleh karena itu, jika ada yang mengklaim diri pusat nasionalisme harus kita lawan! Kita harus lawan! Kita harus lawan. Tidak mesti perlawanan fisik, tetapi perlawanan terhadap cara pandang, pola pikir, dan nalar penguasa yang berada di singgasana kekuasaan. Karena akal sehat untuk mengelola negeri ini sedang tumpul, galau, dan bahkan nelangsa di simpang kiri jalan.

Saya harus jujur sampaikan, Bangsa ini sedang mengalami problematik secara kronis sepanjang lebih dari 50 tahun. Salah satu sumber persoalannya dimulai ketika negara ini mengambil 3 senyawa yang berbeda dalam satu wadah yaitu; Nasionalisme, Agama, dan Komunis.

Bagaimana mungkin tiga pilar yang bertentangan bisa dipaksa dalam satu wadah. Nasionalisme yang mengedepankan cinta pada tanah air dan bangsa yang bersifat profan, duniawi dan alam pikir sekuler. Sedangkan Agama berbicara tentang hubungan transendental antara Tuhan dan Manusia. Tuhan dijadikan sebagai sumber moral dan pusat kekuasaan dan Komunsme yang mengajarkan cara pandang materialisme, sebuah dialektika dan logika tentang peniadaan Tuhan.

Sangat kontras dengan posisi ideologi politik-ekonomi negara-negara dunia ketiga, di mana dunia berada dalam perang dingin antara blok barat dan timur. Bandingkan di Tanzania, pejuang dan proklamator bangsa Sanzibar dan Tanggayika saat Prof Julius Nyerere membangun doktrin sosialisme utama yaitu kombinasi antara sistem sosialis, kapitalis, dan nasionalisme berpusat pada rakyat agrarian. Agama ditempatkan pada posisi Agung (adiluhung).

Sebenarnya akhir 1960-an ketiga pilar ini sudah mulai pudar dan pecah. Komunisme dibubarkan bahkan dilarang dan tidak berada satu wadah pada 1973 ketika terjadi fusi partai. Sedangkan kelompok agama sebagai penentang komunisme masih memiliki ingatan akan trauma dan tragedi (memoria pasionis), bermusuhan dan menyimpan dendam kesumat atas peristiwa 1965.

Untung saja Partai Komunis dilarang. Jika saja kekuatan komunisme ini masih ada dalam mesin utama politik maka persoalan bangsa ini tidak akan pernah berakhir. Dampaknya hari ini kita menanggung dosa sejarah dan akan terus menjadi noda hitam bangsa dalam sejarah Indonesia.

Berbicara tentang komunisme adalah pembicaraan yang paling sensitif di negeri ini. Keberadaan komunisme masih menghantui sebagian besar rakyat Indonesia.

Hari ini pemerintah menjalin hubungan dengan negara komunis China hanya karena kekuatan ekonomi. Pemerintah tidak mengambil politik luar negeri lebih ekstrem melampaui pakem politik bebas dan aktif. Kebijakan politik luar negeri pemerintah yang lebih condong ke China dibandingkan negara-negara Amerika, Eropa, bahkan Jepang, cenderung mengancam eksistensi negara Republik Indonesia. China adalah super power bidang ekonomi, politik, militer juga finansial. Kita tetap waspada.

Pada Oktober 2017, Kongres Nasional Partai Komunis China telah menetapkan 4 hal penting terkait Indonesia yang harus dicermati dan diwaspadai:
1. Menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China sekaligus sebagai Ketua Politbiro Partai Komunis China. Di mana Jingping pernah ke Jakarta merumuskan konsep Jalur Sutera di Jakarta.
2. Partai Komunis China menetapkan perantau (diaspora) China di seluruh dunia ditetapkan sebagai bangsa China dan China mengenal warga negara mengikuti pertalian darah (ius sanguinis).
3. Keputusan Partai Komunis China bahwa kurang lebih 400 juta orang harus keluar dari China, karena ruang dan kapasitas di China tidak cukup mampu menampung pertumbuhan penduduk.

Ada korelasi dan signifikan jika adanya penetrasi kapital China, pembukaan kawasan industri, pembangunan kawasan real estate dan reklamasi pesisir partai, penguasaan agro wisata, agro industri dan perkebunan yang luas adalah miliu di mana potensial bagi tempat penampungan penduduk China sesuai target Partai Komunis China. Inilah yang harus dicurigai dan diwaspadai bangsa ini.

Soal 4 Pilar bangsa. Saya harus mengulas satu per satu untuk memahami cara pandang out of The box tentang 4 pilar ini. Kita mesti kembangkan pemikiran baru yang lebih dinamis dan fleksibel menyertai perkembangan jaman.

Pancasila. Ironi memang! Hari ini, Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik. Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung di dalil dan jargon “One men, One Vote, dan One Value” di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power).

Soal distribusi kekuasaan ini amat penting. Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan. Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradap.

Istilah “adil dan beradab” itu kata kerja bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack). Demikian pula dengan persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianime dan etnisistas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamophobia, Kristenphobia, Papuaphobia, Jawaphobia, Baliphobia. Sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur di mana-mana.

Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem "Winers takes all", pemenang ambil semua, tidak tepat. Karena adanya fakta bangsa kita persebaran penduduk yang tidak seimbang.

Jawa masih dominan dari suku lain, maka bukan tidak mungkin Presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini. Ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku.

Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice). Maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah.

NKRI itu juga bisa berubah ke federal sesuai kondisi bangsa saat ini, tentu tanpa mengubah wilayah negara. Sangat ironis seluruh dunia negara kesatuan itu dibentuk jika luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat.

Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis. Inilah yang namanya contradictio in terminus.

Sudah saatnya kita harus formulasi ulang tentang NKRI dengan bentuk negara Federasi atau Serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatra Utara, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTT, dll.

UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.

Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati.

Demikian pula UUD juga tidak statis. Kita memiliki pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini.

Bhineka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yang dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial. Pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhineka, ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang yang  34 di antaranya berasal dari 1 suku, maka sejatinya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhineka.

Bhineka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggal. Pengakuan secara faktual bahwa kita berbangsa multietnik dan multiminoritas adalah suatu given.

Presiden mesti menemukan pemimpin yang berfikir (ontologis), mampu menerjemahkan (epistemologis), juga bisa mendeliver menjadi nyata (aksiologis). Seperti Revolusi Mental yang mau mengubah 7 sifat buruk “manusia Indonesia” yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis antara lain: munafik (hipokrik), korup, percaya tahayul, bisa berjalan bila pembantu presiden serius menerjemahkan visi Pemerintah.

Akhirnya, hari ini kita menyaksikan rakyat menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan akibat pemimipin tidak mampu mengelola negeri ini. Nilai tukar rupiah makin melemah ke posisi psikologi, mencapai 14.900. Kita sudah memasuki babak baru krisis perekonomian.

Apa yang telah saya jelaskan di atas adalah berbagai persoalan fundamental yang harus diselesaikan. Tidak lain dan tidak bukan yaitu melalui memilih pembantu presiden yang memahami tantangan Indonesia.

Memang tidak mudah ditemukan. Namum saya tegaskan ada banyak putra bangsa yang mau lakukan revolusi pembangunan bangsa dan negara sebagaimana merujuk kepada ide Bung Karno yaitu Revolusi sebagai pergerakan nasional. Pergerakan untuk perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial).

Pada hakikatnya revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan melawan tatanan, norma dan keadaan yang buruk untuk melahirkan keadaan yang baru”. Semoga!

Natalius Pigai

Aktivis 98, PRD, SMID, dll. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA