Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

THE GREAT HACK (2019)

Ketika Vox Populi Menjadi Vox Diaboli

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Senin, 29 Juli 2019, 12:07 WIB
Ketika Vox Populi Menjadi Vox Diaboli
NONTON drama politik di panggung demokrasi abad ini seperti menyaksikan kisah para rasul di zaman nabi-nabi dalam Kitab Suci.

Bedanya, dalam babad para nabi, karena memang manusia pilihan, para utusan Tuhan itu bisa menempuh Jalan yang Lurus sebab bisa dengan cerdas dan iman yang kokoh untuk memilah mana pesan Ilahi (yang dibawa malaikat Jibril), dan mana hasutan menyesatkan (lewat bisikan iblis).

Sementara di zaman sekarang, ketika media sosial (medsos) dalam sekejap bisa menyatukan dunia maya dengan dunia nyata, nyaris tidak ada orang-orang “terpilih” yang bisa menjelaskan kepada publik mana (pesan) kebenaran, dan mana (hasutan) kebohongan yang menyesatkan.

Di masa lalu, ketika teknologi (pembawa) informasi masih sangat sederhana, (berita) kebenaran datangnya nyaris bersamaan dengan fakta. Begitu juga kebohongan, bisa lekas terkuak karena kenyataan berada tak jauh darinya.

Itu sebabnya pada akhir abad 17 di Eropa (Inggris), yang baru mengembangkan iklim demokrasi (politik), kehendak rakyat yang tulus kepada para pemimpinnya dikemas dalam pepatah singkat: Vox populi, vox Dei. Suara rakyat, suara Tuhan (ketulusan). Maka harus dihormati. Dijaga kesuciannya.

Kini, pesatnya perkembangan teknologi informasi membuat kabar sampai lebih cepat dari bayangan (kenyataan). Sehingga masyarakat perlu waktu panjang untuk membedakan mana kebenaran mana kebohongan (hoax).

Sialnya, dalam demokrasi (politik) yang terkait kekuasaan, teknologi informasi yang menjadi tulang-punggung medsos, kebohongan (hoax) bisa menghancurkan kandidat (pemimpin) yang baik, dan sebaliknya, menyepuh dengan emas (kandidat) pemimpin berkualitas tembaga.

Dokumen Pembuka Tabir Kebohongan

Kecenderungan medsos dipakai segelintir orang bewatak iblis untuk menebar kebencian (kepada kandidat yang baik) dan mengajak masyarakat memilih jalan (politik) sesat, telah terlanjur mewarnai panggung-panggung demokrasi di seluruh dunia.

Akibatnya, begitu proses demokrasi (pemilu) usai, biasanya lebih banyak orang terkejut melihat hasilnya ketimbang bahagia karena kehendaknya (hatinya) tercapai.

Dalam sistem demokrasi yang sudah dimanipulasi (medsos) seperti sekarang ini, pemenang pemilu dirasakan rakyatnya seperti ritual melahirkan pemimpin dan komplotan yang akan merampas masa depan mereka!

Dahsyatnya, perasaan seperti itu ternyata juga dirasakan rakyat Amerika Serikat pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45, dan masyarakat Inggris (dan Eropa) ketika opsi keluar dari Uni Eropa (Brexit) memenangi referendum (Juni 2016) di Britania Raya.

Film dokumenter The Great Hack produksi Netflix ini menjelaskan kepada kita bagaimana data publik yang diambil pemilik medsos (Facebook) kemudian diserahkan kepada konsultan politik (Cambridge Analytica) untuk dikendalikan (secara psikologis) demi tujuan politik tertentu.

Disutradarai Karim Amer dan Jehane Noujaim, The Great Hack melibatkan para pelaku sejatinya, seperti Christopher Wylie dan Brittany Kaiser, dua whistleblower yang pernah aktif di Cambridge Analytica, konsultan politik yang kliennya tersebar di antero dunia, termasuk dalam pemilu di Indonesia.

Sungguh beruntung masyarakat Barat (AS dan Eropa), karena ketika demokrasi memasuki iklim anomali akibat penetrasi medsos dalam kehidupan sehari-hari, struktur sosialnya (civil society) tidak mengalami guncangan hebat seperti di negara kita.

Film ini lahir dari kolaborasi kaum intelektual Inggris yang bekerja keras untuk mengembalikan integritas demokrasi dari infiltrasi kebohongan.

Mereka adalah Carole Cadwalladr, jurnalis The Guardian yang melakukan investigasi membongkar kejahatan demokrasi terkait referendum UE di Inggris, dan Profesor David Carroll, ahli teknologi media yang memperkaya kisah ini. Keduanya memainkan dirinya dalam film ini.

Penting juga dicatat, sejumlah anggota Parlemen Eropa yang merespon kegelisahan masyarakat dengan menggelar RDP (Rapat Dengar Pendapat) untuk meminta keterangan orang-orang yang terlibat dalam skandal Brexit (dan menangnya Trump).

Menarik dikaji adalah saat Mark Zuckerberg, CEO sekaligus pemilik Facebook, dicecar ihwal keterlibatannya dalam skandal demokrasi ini. "Coba tanya diri Anda sendiri, bagaimana Anda kelak akan diingat," tanya salah satu anggota Dewan UE asal Belgia, Guy Verhofstadt.

"Sebagai salah satu dari tiga pembesar internet bersama Steve Jobs dan Bill Gates yang memperkaya dunia dan masyarakat kita, atau sebaliknya, menjadi si jenius yang gagal, pencipta monster digital yang menghancurkan demokrasi dan masyarakat dunia?" tambah Verhofstadt.

Film dokumenter The Great Hack ini harus dijadikan momentum ikhtiar kaum intelektual untuk menjaga demokrasi agar tetap berbasis pada “vox popule, vox Dei”, dan tidak membiarkan “vox populi” menjadi “vox diaboli” (iblis) yang menakutkan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA