Liberty, Egality, Fraternity, atau kebebasan, persamaan/keadilan, dan persaudaraan; demikianlah slogan yang didengungkan saat Revolusi Perancis menghanguskan monarki di daratan Eropa, kemudian menggantinya dengan sistem baru yang dikenal dengan "demokrasi".
Para filosof seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, dan para filosof yang muncul sesudahnya yang berusaha untuk merumuskan teori demokrasi dikaitkan dengan implementasinya, menggunakan tiga prinsip ini sebagai fondasinya. Dengan kata lain sebuah negara akan dikatakan demokratis bila memenuhi tiga syarat dasar di atas.
Dalam perkembangannya, ternyata model demokrasi yang diterapkan di berbagai negara sangat beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh ruang dan waktu dalam arti dimana dan kapan demokrasi itu diterapkan, ditambah nilai-nilai keyakinan, budaya, serta perjalanan sejarah sebuah bangsa juga ikut mewarnainya.
Di Indonesia para pendiri bangsa merumuskan demokrasi, sebagaimana tercantum dalam sila keempat dalam Pancasila yang berbunyi: "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan".
Dengan merujuk pada landasan historis dan filosofis sebagaimana diuraikan di atas secara singkat, maka kita akan lebih mudah memahami langkah-langkah politik yang kini berkembang, yang bermuara pada pembentukan Kabinet yang akan bertugas dalam periode 2019-2024.
Bermula dari pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto di MRT, diikuti pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto di Teuku Umar yang dipublikasikan secara luas, tentu memiliki pesan politik penting yang ingin disampaikan ke publik.
Pertemuan ini sebetulnya merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang dilakukan secara terbatas, tertutup, dan dirahasiakan.
Jokowi sebagai capres pemenang sementara Prabowo adalah capres yang kalah sekaligus Ketua partai terbesar dari koalisi penantang. Sementara Megawati sebagai Ketua partai pemenang, sekaligus pengusung capres pemenang. Mereka adalah tokoh-tokoh kunci dalam menentukan arah politik Indonesia lima tahun ke depan.
Arah koalisi semakin jelas dengan berembusnya kabar dari Istana yang menyatakan akan segera membubarkan Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK), dan dikenalkannya istilah "Koalisi Plus Plus" dalam pembentukan Kabinet mendatang.
Karena itu dengan mudah dapat dimaknai bahwa TKN-KIK tidak lagi menjadi basis pembentukan Kabinet, dan kabinet yang akan dibentuk akan mengakomodasi unsur-unsur di luar TKN-KIK.
Jika masyarakat jeli, sebetulnya Presiden petahana sudah memberikan isyarat berulang-ulang akan keinginannya mengakomodasi berbagai tokoh masyarakat yang berprestasi, baik di bidang bisnis, profesional, generasi milenial, maupun yang bergerak di wilayah masyarakat sipil (
civil society), di samping tentunya dari partai di luar TKN-KIK.
Kerasnya gesekan yang terjadi yang berakibat terbelahnya masyarakat selama masa kampanye yang panjang, telah menyisakan luka yang dalam. Tampaknya masalah ini menjadi pertimbangan yang cukup penting, di balik gagasan 'koalisi plus plus'.
Secara teoritis, gagasan ini tentu sangat cemerlang untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah, sekaligus menyembuhkan luka yang dalam. Dengan demikian, maka seluruh potensi masyarakat dapat digerakkan untuk membangun bangsa dan negara selama paling tidak lima tahun kedepan.
Masalahnya, tentu Presiden dan Wapres terpilih akan berhadapan dengan kepentingan partai-partai yang tergabung dalam TKN-KIK.
Jika PDI Perjuangan ikhlas mengingat adanya kepentingan yang lebih besar, bagaimana dengan yang lainnya? Bukankah sebagian besar politisi masih menggunakan adagium politik yang diperkenalkan oleh Harold Lasswell: Who Get What When and How, siapa mendapat apa; kapan dan bagaimana caranya.
Hal ini terlihat sangat jelas dalam pertemuan yang dihadiri oleh ketua-ketua dan wakil-wakil partai: NasDem, Golkar, PKB, dan PPP. Sementara Ketua PDI Perjuangan absen. Kehadiran atau bergabungnya pendatang baru, tentu akan berakibat jatah kursi yang diharapkannya akan jauh di bawah espektasi.
Fenomena ini tentu menjadi ujian awal bagi capres dan cawapres terpilih, bagaimana harus diselesaikannya.
Muhammad NajibPengamat Politik Islam dan Demokrasi