Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lampu Merah Untuk Erdogan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Selasa, 25 Juni 2019, 20:56 WIB
Lampu Merah Untuk Erdogan
Recep Tayyip Erdogan/Net
PEMILU lokal yang dilaksanakan serentak tiga bulan lalu, tepatnya pada Ahad (31 Maret 2019), telah mengejutkan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan para petinggi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa sejak 2002.

Sejumlah kota besar seperti Izmir, Ibukota Ankara, dan kota terbesar sekaligus bersejarah Istanbul, lepas dari tangan partai petahana AKP dan beralih ke oposisi Partai Rakyat Republik (CHP).

Sejak 2002 kota Istanbul bukan saja menjadi basis AKP, akan tetapi dari sinilah Erdogan memulai karir politiknya sebagai Walikota, kemudian menjadi Perdana Mentri, dan sekarang sebagai Presiden dengan kekuasaan sangat besar.

Karena itu Istanbul juga menjadi simbol sekaligus benteng AKP. Konon Erdogan pernah menyatakan; "siapa yang menguasai Istanbul maka ia akan menguasai Turki".

Mungkin inilah yang menyebabkan ketika Binali Yildirim orang kepercayaan Erdogan yang menjadi kandidat dari AKP kalah dengan calon oposisi bernama Ekrem Imamoglu yang berasal dari CHP, sangat sulit diterima. Para petinggi AKP lalu menuduh adanya sejumlah kecurangan yang dijadikan alasan untuk mengusulkan pemilu ulang. Erdogan kemudian menyetujui dilaksanakannnya pemilu ulang khusus untuk kota Istanbul.

Pemilu ulang kemudian dilaksanakan pada Ahad (23 Juni 2019). Hasilnya kembali memenangkan Ekrem, bahkan dengan angka sangat meyakinkan 54 persen dari lawannya yang hanya memperoleh suara sebesar 45 persen. Angka kemenangan Ekrem kali ini, jauh lebih tinggi dari angka yang diperolehnya pada kemenangan sebelumnya yang memberikan keunggulan tipis hanya dengan 13.729 suara. Sementara kemenangan kali ini memiliki selisih 9 persen, setara dengan 800.000 suara. Karena sejumlah pengamat melihat usulan pemilu ulang sebagai bumerang bagi AKP.

Pertanyaannya kini, mengapa semua ini bisa terjadi ? Tentu saja perlu dilakukan penelitian empiris yang diikuti dengan kajian ilmiah dengan tinjauan konprehensif dari berbagai  aspek untuk menemukan jawabannya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif politik, tentu akan lebih mudah dan lebih cepat untuk menjelaskannya.

Pertama, Erdogan sebagai orang kuat di AKP telah meninggalkan atau ditinggal teman-teman dekatnya, yang ikut mendirikan dan membesarkan partai yang dipimpinnya. Abdullah Gul yang pernah menjadi Perdana Mentri dan Presiden, merupakan teman dekatnya yang kini tidak lagi berdiri di sisi Erdogan, bahkan ia sudah mengkritik Erdogan secara terbuka.

Nama lain seperti Ali Babacan yang pernah menjadi Menlu dan Deputi Perdana Mentri, juga Ahmet Davutoglu yang pernah menjadi Menlu dan Perdana Mentri, tidak terlihat lagi berdiri bersama Erdogan. Dan masih banyak lagi kawan-kawannya yang kini tidak lagi disampingnya bila ingin ditambah.

Kedua, Erdogan yang dulu dikenal sebagai sosok politisi idealis dan hidup sederhana, kini mulai diserang dengan tuduhan memperkaya diri melalui keluarganya. Dulu ia juga yang dikenal sebagai tokoh yang demokratis, kini mulai menghadapi tududuhan diktator yang mengembangkan rezim otoritarian, baik oleh musuh-musuhnya yang berada di jajaran oposisi, maupun bekas teman-temannya sendiri.

Tuduhan ini menemukan pembenar saat Erdogan melakukan pembersihan setelah upaya kudeta 15 Juli 2016 yang gagal. Merujuk pada media resmi Turki, sebanyak 6.000 tentara dan 9.000 polisi ditangkap, 2000 hakim dicopot,  15.300 guru dipecat, 8.777 staf Kementrian Dalam Negri diberhentikan, 249 staf Kementrian Luar Negri ditangkap,  1.500 pegawai Kementrian Keuangan diberhentikan. Meskipun ada beberapa versi terkait angka dan data terkait korban pembersihan, akan tetapi ada kesamaan dimana angkanya sangat besar.

Ketiga, Fethullah Gulen seorang ulama senior yang menjadi teman sekaligus pendukung Erdogan di awal karirnya, kini menjadi menjadi musuh nomor wahid Erdogan. Gulen dan Hizmet organisasi yang dipimpinnya dituduh sebagai dalang di balik upaya kudeta yang gagal pada15 Juli tahun 2016. Mereka kemudian dimasukkan dalam daftar teroris yang diburu negara.

Akibatnya seluruh media yang dimilikinya seperti surat kabar, majalah, TV diberangus, dan seluruh asetnya disita. Begitu juga lembaga pendidikan yang dikelolanya baik yang berupa sekolah dengan berbagai jenjang dan universitas ditutup,  kemudian asetnya disita dan dialih kelolakan. Yang lebih tragisnya lagi seluruh aktifisnya dikenakan tuduhan teroris dan masuk daftar teroris yang diburu negara, baik yang berada di dalam maupun luar negri.

Bisa saja ditambahkan faktor krisis ekonomi, tekanan luar negri khususnya yang datang dari Amerika dan sejumlah negara Eropa, serta faktor-faktor lain yang kemudian berakumulasi yang bermuara pada kekalahan AKP di sejumlah kota besar. Yang pasti kelompok kelas menengah perkotaan tidak lagi berpihak pada Erdogan dan AKP yang dipimpinnya.

Aspek lain yang menarik untuk dicermati, selain faktor-faktor di atas adalah isu dan narasi kampanye dua kandidat. Binali Yildirim yang didukung AKP menumpangi fenomena populisme yang melanda masyarakat, berusaha untuk mengeksploitasi emosi publik dengan cara memainkan simbol-simbol agama untuk memaksimalkan gejala _post trust_ (pasca kebenaran) akibat masifnya penggunaan media sosial. Sementara Ekrem Imamoglu yang didukung CHP tetap dengan konsep konserfatif menawarkan rasionalisme, keadilan, demokrasi, dan kedamaian bagi semua orang.

Jika Erdogan berbesar hati melihat hasil Pilkada tiga bulan lalu dan hasil pemilu ulang di Istanbul beberapa hari yang lalu, maka ia harus introspeksi diri atas berbagai kesalahan yang dilakukan, baik yang berasal dari dirinya sendiri, keluarga, maupun teman-teman dekatnya. Rasanya inilah satu-satunya jalan yang mungkin bisa membuatnya bangkit kembali untuk mendapatkan kepercayaan publik.

Jalan lain yang tentunya lebih berat untuk dilakukan bila Erdogan cukup rendah hati mengulurkan tangan untuk islah atau rekonsiliasi dengan sahabat lamanya Fethullah Gulen. Hizmet yang dipimpin Gulen meskipun hanya organisasi sosial dan dakwah yang bergerak di bidang pendidikan, media, dan bisnis, memiliki pengaruh politik yang tidak boleh diabaikan, mengingat jumlah aktifis dan pengikutnya yang cukup besar,  ditopang oleh kelompok terdidik dengan  jaringan organisasi yang luas dan rapi, baik di dalam maupun di luar negri.

Peran Fethullah Gulen dan para pengikutnya tentu sangat besar dalam kemenangan oposisi CHP. Pertanyaannya kemudian apakah ada deal politik antara CHP dengan Hizmet di bawah permukaan? Atau para aktifis dan pendukung Hizmet ingin menghukum atau sekedar membalaskan sakit hatinya pada Erdogan dan AKP yang dipimpinnya, dengan cara mencoblos siapapun yang didukung oposisi dan menjadi lawan Erdogan? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya mana yang sebenarnya terjadi.

Yang pasti hasil pemilu ulang walikota Istanbul yang memenangkan kembali Ekrem Imamoglu yang berasal dari oposisi CHP ibarat lampu merah untuk Erdogan dan AKP yang dipimpinnya, khususnya terkait keinginan Erdogan untuk mempertahankan posisinya dalam pilpres mendatang yang akan diselenggarakan tahun 2023.

Apalagi Ekrem Imamoglu kini masih berusia 49 tahun, sebagai politisi muda yang sedang naik daun, bukan mustahil ia akan didorong oleh partainya untuk menantang Erdogan yang mulai menua.
Dalam situasi seperti ini  Erdogan memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Ekrem Imamoglu sebagai Walikota Istanbul yang baru. Hal ini memberikan indikasi, baik dirinya maupun AKP legowo menerima kekalahannya.

Fakta ini sekaligus menjadi bukti bahwa  demokrasi masih hidup di Turki, tidak seperti dituduhkan banyak pihak baik yang berada di dalam maupun di luar Turki, bahwa demokrasi telah mati di negri yang menjadi jembatan antara Asia dan Eropa ini.rmol news logo article 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA