Sejak pasukan Irak dipaksa mundur dari Kuwait, suku Kurdi yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan di Bagdad yang dipimpin Saddam Husein waktu itu, mendapatkan dukungan politik dan militer dari Amerika. Karena itu suku Kurdi yang mendiami wilayah Barat Laut Irak dan beribukota di Erbil, sampai saat ini memiliki kekuatan politik dan militer sangat diperhitungkan oleh Bagdad.
Kedua, kelompok Sunni yang jumlahnya lebih besar dari Kurdi, akan tetapi lebih kecil dari kelompok Syiah harus menanggung dosa politik, disebabkan rezim Saddam saat berkuasa, bertumpu pada kelompok Sunni. Beban yang dipikulnya semakin berat, karena Saddam mendiskriminasi kelompok Syiah.
Ketiga, kelompok Syiah yang populasinya paling besar dibanding kelompok Sunni maupun Kurdi. Sejak tergulingnya rezim Saddam Husein, Amerika berusaha membangun pemerintahan boneka dengan prinsip demokrasi. Sejak saat itu dan sampai kini kelompok Syiah mendominasi pemerintahan di Bagdad. Dan dalam banyak hal, seperti ada semangat balas dendam terhadap kelompok Sunni, walau tidak dilakukan secara terang-terangan.
Kelompok Syiah terkonsentrasi di kota-kota yang berada di tengah Irak seperti: Kuffah, Najaf, dan Karbala, serta di sepanjang perbatasan Irak-Iran yang membentang di Timur Laut Irak. Baik dari paham keagamaan, kultural, maupun historis, kelompok Syiah di Irak sangat dekat dengan Iran, walaupun etnis mereka adalah Arab. Sementara kelompok Sunni lebih dekat ke Saudi Arabia yang menjadi tetangganya di sebelah Selatan.
Saat ketegangan antara Amerika dan Iran muncul, ada semacam dilemma bagi pemerintahan yang berkuasa di Bagdad. Di satu sisi, mereka merasa berhutang budi kepada Amerika. Akan tetapi, mereka juga harus memperhatikan aspirasi warga Syiah yang mengantarkannya ke singgasana kekuasaan melalui pemilu.
Karena itu, sejak ketegangan antara Amerika dan Iran muncul, Bagdad mengambil langkah pro-aktif dan melakukan komunikasi secara intensif, baik dengan Washington maupun Teheran, untuk meredakannya. Akan tetapi, jika perang sampai pecah, maka Irak tampaknya akan memihak Iran, sebagaimana dinyatakan oleh Menlunya Mohammed Ali el-Hakim, saat menerima kunjungan rekannya Menlu Iran Mohammad Javad Zarif di Bagdad beberapa hari yang lalu.
Ada beberapa alasan, mengapa Bagdad tidak akan memihak Amerika.
Pertama, sikap Wahington yang selalu membela kelompok Kurdi, membuat pemerintahan di Bagdad tidak memiliki wibawa terhadap komunitas Kurdi yang dipimpin oleh Masoud Barzani dari kota Erbil.
Kedua, keberadaan sejumlah pangkalan militer Amerika yang menampung lebih dari 5.000 pasukan, membuat pemerintahan di Bagdad merasa kedaulatan negara dan martabat bangsanya terganggu. Apalagi sikap Washington yang seringkali dianggap melecehkan pemerintahan di Bagdad.
Ketiga, simpati dan dukungan warga Syiah yang sangat menentukan dalam setiap pemilu, harus dijaga bagi siapapun yang ingin berkuasa atau tetap berkuasa di Bagdad. Dalam masalah Amerika vs Iran, warga Syiah sangat anti Amerika dan sangat pro-Iran.
Pilihan seperti ini tentu memiliki resiko, dan harus dibayar mahal. Amerika bisa saja memanfaatkan kelompok Kurdi untuk mengganggu pemerintah yang berkuasa di Bagdad. Dalam bentuk yang paling ekstrem, kelompok Kurdi bisa didorong untuk melepaskan diri dan menyatakan merdeka, sehingga wilayah yang sudah memiliki tentara dan bendera sendiri ini, menjadi negara Kurdistan yang merdeka sebagaimana sejak lama dicita-citakan.
Jika hal ini sampai terjadi, bukan mustahil Suriah dan Turki akan turun dan membantu pemerintah di Bagdad. Karena jika dibiarkan, maka masyarakat Kurdi yang bermukim di Suriah maupun Turki, juga akan melakukan hal yang sama. Apalagi tempat tinggal mereka berdekatan.
Karena itu, jika perang Amerika melawan Iran sampai pecah, maka banyak negara yang akan terseret untuk ikut terlibat dengan berbagai alasan. Bagi Irak, jika Amerika kalah maka seluruh pangkalan militer yang berada di wilayahnya harus ditutup, dan seluruh prajurit Amerika harus angkat kaki. Akan tetapi jika, Amerika yang menang, maka pemerintah di Bagdad harus menghadapi kenyataan getir. Paling tidak, negara Irak akan semakin terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang dibangun berdasarkan ikatan primordial, baik berdasarkan kesukuan maupun paham keagamaan. Tampaknya pilihan yang tersedia sangat terbatas dan semuanya memiliki resiko.
Wallahualam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.