Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Irak Pasca Saddam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Jumat, 26 April 2019, 18:31 WIB
Irak Pasca Saddam
Saddam Husein/Net
DI bawah Saddam Husein, Irak sempat menjadi salah satu negara Arab yang sangat maju dan makmur. Hasil minyak buminya yang sangat besar dimanfaatkan dengan baik, termasuk dalam membangun angkatan bersenjatanya sehingga mengkhawatirkan Israel.

Irak sempat membangun reaktor nuklir di Osirak atas bantuan Perancis. Sikap tidak bersahabatnya dengan Israel tidak ditutup-tutupi, dan pembelaannya terhadap Palestina dilakukannya secara total. Dalam perang Arab-Israel 1973 yang menaikkan harga diri bangsa Arab, Irak berperan besar.

Mossad sebagai intelijen Israel menempatkan Saddam sebagai sasaran spionasenya. Sejumlah ilmuwan nuklir Irak yang berada di Perancis, sebagai bagian dari kerjasama program nuklir Irak-Perancis ditemukan tewas secara misterius. Hal ini membuat para ilmuwan yang lain yang bertugas harus membatasi ruang geraknya dan mendapatkan perlindungan khusus. Gagal menghentikan program nuklir Irak dengan cara ini, Israel kemudian mengirim pesawat tempurnya untuk meluluh-lantakan reaktor nuklirnya secara langsung. Kecilnya korban manusia, dan parahnya kerusakan yang dialaminya membuat program nuklir Irak tidak bisa dilanjutkan lagi.

Irak atas bantuan Rusia kemudian melengkapi militernya dengan rudal balistik bernama Scud yang bisa menjangkau Israel. Menghadapi ancaman ini, Israel segera membeli rudal Patriot dari Amerika. Tudal patriot merupakan rudal canggih andalan Amerika yang memiliki kemampuan untuk menembak sasaran bergerak di udara, seperti rudal balistik atau pesawat tempur.

Tahun 1979 terjadi Revolusi Iran yang berhasil menggulingkan rezim diktator Reza Pahlevi yang didukung Amerika dan menjadi sekutu Israel di Timur Tengah. Runtuhnya rezim Pahlevi di satu sisi menggembirakan Irak, akan tetapi di sisi lain mengkhawatirkan rezim Saddam. Kekhawatiran Saddam cukup beralasan, mengingat Khomeini yang menggantikannya menggunakan ideologi Islam bermazhab Syi'ah. Sementara Saddam dan pendukung utamanya bermazhab Sunni. Dengan komposisi demografi Irak, dimana jumlah penganut Syi'ah lebih besar dari Suni, tentu apa yang terjadi di Iran yang menjadi tetangganya itu bisa menimbulkan semangat yang sama di negrinya.

Amerika dan Israel bekerjasama mendorong Saddam untuk menggagalkan proyek negara Islam Iran yang dirintis Khomaini. Tahun 1980 Saddam menyerang Iran tanpa alasan yang jelas. Terjadilah perang panjang selama 8 tahun yang menimbulkan korban besar di kedua belah pihak, baik yang meninggal, luka-luka, kerusakan infrastruktur, dan besarnya dana yang menguras anggaran negara masing-masing. Perang yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Teluk pertama ini, bermuara pada merosotnya ekonomi kedua belah pihak.

Untuk mengatasinya, rezim Saddam yang sangat bergantung pada minyak berusaha untuk menaikkan harga maupun produksinya. Akan tetapi, rencananya ini terganggu dengan sikap Kuwait. Berkali-kali perundingan antara dua negara dilakukan, akan tetapi tidak memuaskan Irak.

Tahun 1990 dengan alasan lama, bahwa Kuwait merupakan bagian dari Irak yang ditempatkan sebagai salah satu provinsinya. Kuwait dituduh memisahkan diri dan menjadi negara merdeka, sebagai bagian dari projek imprialisme Inggris. Saddam kemudian melakukan invasi militer untuk merebutnya kembali.

Dibanding Irak kerajaan Kuwait sangat kecil baik dari sisi luas wilayah, jumlah penduduk, maupun kekuatan militernya. Hanya dalam dua hari seluruh wilayahnya sudah diduduki pasukan Saddam. Hal ini membuat keluarga Raja dan pengikut setianya mengasingkan diri sekaligus mencari perlindungan ke Saudi Arabia.

Kuwait dibantu Arab Saudi yang khawatir Saddam akan meneruskan semangat ekspansinya, akan meneruskan ke wilayah Saudi Arabia. Apalagi ada rumor bahwa tentara Irak sudah berada di berbatasan Irak-Saudi. Keduanya lalu berusaha untuk mendapatkan dukungan baik dari negara-negara Arab, negara muslim, maupun negara-negara lainnya.

Dukungan internasional kemudian didapat termasuk dari PBB. Sejumlah negara termasuk negara-negara Arab dipimpin Amerika, kemudian membangun aliansi militer dengan mandat PBB. Untuk keperluan operasi militer, kemudian dibangun sejumlah pangkalan militer di hampir semua negara Arab kaya di kawasan Teluk. Bahkan di tiap negara bisa lebih dari satu, baik untuk keperluan angkatan darat, laut, maupun udara.

Pasukkan Saddam kemudian digempur dari berbagai penjuru, dan dipaksa keluar dari Kuwait. Menghadapi besarnya kekuatan lawan, Saddam lalu berusaha untuk memperluas wilayah perang dengan cara mengobarkan perang melawan Israel, dengan asumsi negara-negara Arab dan Muslim akan membelanya. Ia sempat mengirim tidak kurang dari 39 rudal Scud ke Israel, sebagian berhasil mencapai sasaran walau tidak menimbulkan korban besar, akan tapi sebagian besar berhasil ditembak dan rontok di udara. Amerika meminta Israel untuk defensif dan tidak membalasnya, dengan pertimbangan agar tidak membangkitkan amarah bangsa Arab dan Ummat Islam. Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Teluk kedua.

Setelah perang usai, Irak yang mengalami kerugian besar tidak pernah lagi bisa bangkit. Negara yang sebelumnya maju berubah menjadi porak-poranda, dan rakyatnya yang semula makmur jadi miskin seketika. Beban Irak bertambah berat karena sangsi dalam berbagai bentuk harus dipikulnya, mulai sangsi politik, ekonomi, sampai pembatasan ruang gerak di negaranya sendiri.

Walaupun dalam keadaan sulit, Saddam masih kerap melontarkan pernyataan dan melakukan tindakan yang menjengkelkan negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Israel. Salah satu contoh; ia meletakkan gambar Gerge H.W. Bush atau Bush senior yang memimpin perang Teluk kedua saat menjadi Presiden, di pintu masuk hotel al-Rashid yang merupakan hotel paling bagus di Bagdad yang banyak dikunjungi orang asing. Akibatnya wajah mantan presiden itu selalu diinjak-injak para pengunjung. Padahal saat bersamaan anaknya yang bernama George Bush atau George Bush yunior sedang berkuasa di Gedung Putih.

Dengan alasan memiliki senjata pemusnah massal yang membahayakan negara lain dan ikut bertanggungjawab atas serangan 11 September 2001, yang membuat gedung WTC di Kota New York yang menjadi kebanggaan bangsa Amerika rata dengan tanah, akhirnya Amerika dan sekutunya menggempur Irak, yang mengakibatkan tumbangnya rezim Saddam dan membuat sang Presiden menghembuskan nyawanya di tiang gantungan.

Di kemudian hari terbukti, Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal, dan Saddam sama sekali tidak terlibat dalam serangan 11 September. Akan tetapi Irak sudah terlanjur luluh-lantak dan nyawa Saddam tidak mungkin dikembalikannya.

Lebih dari itu, negara-negara Arab Teluk yang ikut perang baik secara langsung maupun tidak, terlanjur terikat kesepakatan yang harus ditunaikannya. Sebagian besar kesepakatan yang dibuat tidak diketahui publik, karena terkait biaya perang yang harus ditanggung. Menurut info yang layak dipercaya, beban itu ditempatkan sebagai hutang yang harus dibayar baik dalam bentuk minyak maupun bentuk lain yang harus dilunasi selama bertahun-tahun kemudian.

Kerugian lebih besar selain yang berupa kerugian finansial adalah masalah hilangnya atau berkurangnya kedaulatan dan independensi sejumlah negara Arab, akibat banyaknya pangkalan militer asing yang dibangun di negara mereka, yang walaupun perang sudah usai, akan tetapi tamu-tamu yang hadir enggan untuk pulang dengan berbagai alasan.

Yang paling gembira sekaligus menerima berkah semua kejadian ini tentu negara Zionis Israel. Tanpa mengeluarkan keringat, Irak yang ditakutinya hancur-lebur. Selain itu, negara-negara Arab Teluk yang kaya dan maju secara ekonomi, kini sudah terkurung oleh tentara NATO yang dipimpin Amerika, yang kini terlanjur bercokol di halaman depan rumah-rumah mereka dalam bentuk pangkalan militer dan kapal-kapal induknya.

Sementara Irak pasca Saddam, melahirkan pemerintahan yang didominasi oleh kekuatan politik berbasis komunitas Syi'ah. Walaupun sudah sekian kali berganti, akan tetapi semakin lama semakin mesra dengan Iran baik secara ekonomi, politik, maupun militer.

Karena itu bisa dibayangkan betapa jengkelnya Amerika yang telah berkorban begitu besar, khususnya yang berupa ribuan nyawa tentaranya dan ribuan lagi yang pulang cacat fisik maupun mental, ditambah besarnya dana yang harus dikeluarkan, ternyata membuahkan Irak yang bermesraan dengan musuh bebuyutannya. Sementara Iran yang tidak berkeringat, kini mendapatkan limpahan berkah dengan munculnya rezim Irak yang pro Teheran.

Walaupun tidak dikatakan, tentu berbagai manuver Amerika untuk menghukum Iran, dalam bentuk sangsi ekonomi, tekanan politik, maupun ancaman militer, akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai peristiwa yang diceritakan di atas. Wallahua'lam. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA