Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Libia Pasca Khadafi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Rabu, 17 April 2019, 08:51 WIB
Libia Pasca Khadafi
Muammar Khadafi/Net
DI tanah air nama Khadafi sempat sangat harum, sehingga banyak anak yang lahir saat itu diberi nama sang Presiden Libia yang menjadi salah seorang pemimpin dunia Arab ini. Kekaguman masyarakat Indonesia terhadap sosok nyentrik kelahiran Sirte ini, paling tidak disebabkan karena tiga faktor berikut: keberaniannya; kedermawanannya; dan kemampuannya membangun citra diri.

Muammar Khadafi berani mengatakan tidak kepada Barat, khususnya Amerika dalam membela Palestina, kepentingan Bangsa Arab, dan kepentingan Ummat Islam di tingkat global. Selain itu, ia sangat ringan tangan dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu masyarakat  di banyak negara, baik untuk masjid, sekolah, dan fasilitas atau kegiatan sosial lainnya. Menariknya, yang dibantu bukan hanya masyarakat muslim. Hal inilah yang menyebabkan dirinya sempat dijuluki sebagai Raja Afrika, karena banyaknya bantuan yang dinikmati  masyarakat yang tinggal di benua ini.

Di samping dua faktor di atas, yang membuat Khadafi menjadi terkenal dan selalu menjadi perhatian publik, dikarenakan kemampuannya dalam membangun citra dirinya. Meskipun ia punya istana, akan tetapi ia selalu menerima tamu-tamunya di tenda yang sangat sederhana. Ia juga tidak sungkan menggunakan jubah sederhana yang robek dan ditambal dengan jaitan tangan. Ia bahkan berani melawan tradisi Arab yang selalu menyembunyikan perempuan, khususnya terhadap para gadis remajanya. Khadafi melawan tabu yang ada, dengan mengenalkan gadis-gadis cantik Libia pada senjata otomatis dan menjadikannya sebagai pengawal pribadi.

Sayang sang Kolonel yang berkuasa lebih dari 40 tahun ini, akhirnya meninggal dunia oleh peluru dari senapan yang berada di tangan rakyatnya sendiri, di persembunyiannya di kota kelahirannya Sirte sebagai bagian dari bentuk letupan kemarahan.

Walaupun ia berhasil memajukan negaranya sekaligus memakmurkan rakyatnya, akan tetapi pada saat yang bersamaan ia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Sejumlah kesalahan yang dilakukannya antara lain: Pertama, ia menggenggam kekuasaan dengan sangat kuat, dan sangat keras terhadap lawan-lawan politiknya. Akibatnya, semua kegiatan ekonomi, politik, militer, sosial, keagamaan, bahkan bisa dikatakan seluruh aspek kehidupan masyarakat Libia bertumpu pada dirinya. Karena itu ia juga dikenal sebagai seorang diktator.

Kedua, kecintaannya pada harta telah membuat dirinya tidak pernah lelah untuk menimbunnya, baik di dalam negri maupun di negara lain. Kekayaan yang berlimpah dipadu  dengan kekuasaan mutlak,  membuat para pejabatnya sulit membedakan mana kekayaan negara dan mana milik pribadi.

Ketiga, walaupun sejak Khadafi berkuasa, ia mendeklarasikan negrinya berbentuk republik yang demokratis, akan tetapi disamping ia memerintah secara otoriter, dirinya juga menyiapkan anaknya yang bernama Syaif al-Islam sebagai putra mahkotanya.

Cara ia memimpin mengakibatkan negara yang dipimpinnya berjalan tidak alami. Institusi-institusi negara dan para pejabat bergerak dengan cara menafsirkan apa yang diinginkan dan apa yang disukai sang Pemimpin. Para pejabat cendrung melangkah sekedar untuk menyenangkan Al Qaid demikian sang pemimpin suka dipanggil, yang dalam bahasa Arab berarti pemimpin besar.

Saat musim semi Arab pada awal 2011, menyapu seluruh kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, telah mengakibatkan sang pemimpin besar terjungkal. Seluruh keluarga dan pengikut setianya diburu. Dan sejak itu kabilah-kabilah yang ada bersaing, dan cendrung berbicara dengan bahasa kekerasan.

Bagi Barat khususnya yang tergabung dalam NATO yang ikut berperan menumbangkannya, runtuhnya rezim yang dipimpin Khadafi merupakan awal berseminya demokrasi. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa saat itu; Ban Ki-moon menyebut kematian sang Kolonel sebagai sebuah momentum bersejarah, yang menandai akhir dari sebuah awal kehidupan baru di negara di belahan Utara Afrika tersebut.

Dewan Transisi Nasional atau NTC segera dibentuk, kemudian  mendeklarasikan kebebasan sebagai langkah awal dimulainya era baru. NTC membentuk pemerintahan sementara, diikuti dengan pemilu untuk memilih dewan konstitusi yang persiapan nya dilakukan selama satu tahun. Negara-negara Barat kemudian membimbingnya tentu dengan berbagai motivasi.

Akan tetapi para pemimpin baru Libia, khususnya yang berbasis suku atau kabilah, mayoritas tidak terlatih bernegosiasi dan tidak mengerti bagaimana berbagi kekuasaan. Akibatnya, senjata lebih banyak berbicara dan digunakan untuk menyelesaikan masalah politik.

Sudah hampir 8 tahun masa transisi berlangsung yang diwarnai dengan kekerasan, dan sampai saat ini belum nampak kapan akan berakhir. Sementara itu, kurban hilangnya nyawa, dan penduduk yang lari meninggalkan negri sebagai pengungsi terus berlangsung.

Persoalan semakin rumit, karena keterlibatan sejumlah negara Barat baik dalam meruntuhkan rezim Khadafi, maupun saat rekonstruksi pasca Khadafi. Tentu semua ini dilakukan, mengingat besarnya sumberdaya alam yang dimiliki, khususnya yang berupa minyak bumi.

Kerumitan yang ada bertambah lagi, disebabkan kepentingan sejumlah negara Arab yang berusaha menghalangi munculnya atau berkembangnya demokrasi di kawasan Timur Tengah.   Panglima militer Libyan National Army (LNA) Jendral Khalifa Haftar yang kini pasukannya mengepung ibukota Tripoli, dimana pemerintahan Government of National Accord (GNA) yang diakui PBB berada,  sebelumnya melakukan kunjungan ke Mesir dan Saudi Arabia. UAE menyatakan secara terbuka terhadap langkah yang dilakukan sang Jendral.

Diberitakan, ia telah menerima uang dalam jumlah yang cukup besar dari Kerajaan Saudi Arabia, untuk keperluan operasi militernya yang saat ini masih berlangsung. Dahsyatnya pertempuran antar kelompok di Libia kali ini, bisa dilihat dari besarnya pasukan tempur yang terlibat yang dilengkapi senjata berat, bahkan sudah menggunakan pesawat tempur. Selama ini Haftar menguasai wilayah Timur,  sedangkan GNA dibawah kendali Perdana Mentri Fayaz al-Sarraj menguasai wilayah Barat.

Sampai kapan para pemimpin Libia mau menjadi alat kepentingan negara lain, sehingga begitu mudah bertikai dan diadu-domba. Pada saat bersamaan sangat sulit untuk bersatu membangun negri untuk kepentingan bangsanya sendiri. Padahal rakyat yang menjadi kurban, baik yang kehilangan nyawa, maupun meninggalkan tanah kelahirannya, kemudian terkatung-katung sebagai pengungsi di negri orang terus berlangsung. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA