Orang-orang besar yang ditampilkan dalam Al- Qur’an ternyata memiliki kekuatan diplomasi yang luar biasa. Semakin besar kekuatan diplomasi seseorang ternyaÂta berbanding lurus dengan ketokohan yang bersangkutan. Kita perlu belajar banyak daÂlam dunia diplomasi publik dari tokoh-tokoh yang diperkenalkan di dalam Al-Qur’an.
Kesuksesan misi dakwah Nabi lebih banÂyak ditentukan oleh kepiawaian berdiplomaÂsi Rasulullah ketimbang dengan jihad melaÂlui peperangan. Dari segi kekuatan perang Rasulullah Saw sesungguhnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan dua kekuaÂtan adidaya yang mengapitnya, yaitu kekuaÂtan Romawi Bizantium di Barat dan kekuaÂtan Persia di Timur. Sukses yang gemilang Rasulullah lebih banyak ditentukan oleh perÂjuangan diplomasi. Diplomasi adalah bagian dari jihad yang paling diandalkan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw amat piawai di dalam berdiplomasi. Terkadang diplomasinya meÂnempuh jalan-jalan yang samasekali tidak populis tetapi ia tetap istiqamah. Rasulullah Saw betul-betul berorientasi pada tujuan sebuah perjuangan.
Berjihad melalui diplomasi selain resikonya sangat minim juga hasilnya bisa lebih perÂmanen. Diplomasi bisa meniadakan atau paling tidak menunda peperangan yang akan menelan korban jiwa dan materi. KarÂena itu, para Nabi dibekali dengan kekuatan diplomasi yang amat piwai. Lihat misalnya bagaimana kepiawaian Nabi Sulaiman bisa menaklukkan sebuah kekuatan adidaya yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Balqis. Kepiawaian Balqis dilukiskan sebagai seorang ratu yang diberi gelar "pemilik keraÂjaan besar" (laha ‘arsyun ‘adhim) sebagaimaÂna disebutkan dalam Q.S. al-Naml/27:23). Pada akhirnya Nabi Sulaiman bisa menakÂlukkan kerajaan ini tanpa setetes darah yang mengalir.
Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim ditanya oleh Raja Namrud: "Siapa yang menghanÂcurkan berhala-berhala kami" lalu dengan diÂplomatis Nabi Ibrahim menjawab: "Itu yang paling besar", sambil menunjuk berhala palÂing besar yang dikalungi kampak, setelah sebelumnya berhala-berhala lain dihancurÂkan. Nabi Ibrahim tidak berbohong karena yang ditunjuk memang adalah berhala paling besar, walaupun maksudnya bukan dia yang menghancurkan berhala-berhala itu.
Dalam kasus lain, Nabi Yusuf menundukÂkan saudara-saudaranya yang pernah beruÂsaha mencelakakan dirinya ke dalam sumur, bukan dengan cara membalas dendam keÂtika ia menjad raja di Mesir, tetapi ia menguÂji mental saudara-saudaranya dengan cara menyembunyikan alat timbangan ke dalam karung gandum saudara-saudaranya. Para saudaranya dihadapkan kembali kepada raja setelah ditemukan alat bukti di dalam karung. Nabi Yusuf bukannya menghukum saudara-saudaranya tetapi memaafkannya. Akhirnya saudara-saudaranya tertunduk malu dan menyesali seluruh perbuatan yang pernah dilakukan di masa lalu. Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah menÂgulangi perbuatan yang memalukan itu.
Nabi Muhammad Saw juga kaya dengan pengalaman diplomasi sebagai metode di dalam menggalang pengaruh dan mengemÂbang misi suci, sebagaimana yang akan dibahas dalam artikel-artikel mendatang.