Islam tidak dilahirkan di dalam ruang yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sudah sarat denÂgan budaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak perÂnah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang samasekali baru. Ia bahkan dengan tawadhu dikatakan dalam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyemÂpurnakan akhlak mulia" (
innama bu’itstu li utammim makarim al-akhlaq). Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradabannya yang yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengeÂjar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (
utulub al-'ilm wa lau bis Shin). Ia juga mengaÂtakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di manapun kalian temukan" (
al-hikmah dhalah al-mu'min fahaitsu wajaÂdaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur'an juga seÂjak awal menyerukan pentingnya memelihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala seÂsuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikaÂtakan: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusuÂlih). (Q.S. al-Baqarah/2:285).
Dengan demikian, pola imitative budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang diÂpopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid’ah hassanah, sebuah kelanjutan tradisi yang konÂstruktif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tenÂtang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. KebuÂdayaan dan peradaban (
civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dengan budaya dan peradaban sebelÂumnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit diingÂkari. Di manapun dan sejak kapapun dalam linÂtasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sintesa dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumÂrah dan wajar, karena bukankah pada mulanya anak manusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)?
Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai univerÂsal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai ajaran yang sarat dengan nilai-nilai universal suÂdah barang tentu memiliki pola dialektik sejarahÂnya. Dengan kata lain, satu sisi harus memperÂtahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu menÂembus batas-batas geografis dengan seperangÂkat nilai-nilai lokalnya. Dalam kenyataan dialekÂtika sejarah Islam, selain harus "menjinakkan" sasaran-sasarannya, maka ia pun harus dijinakÂkan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak benua India, dan Nusantara, maka terlebih dahuÂlu ia harus mengalami proses pemesiran, pemÂersiaan, pengindiaan, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang laÂhir dan tumbuh di jazirah Arab lalu berekspansi keluar di kawasan sekitarnya, maka nilai-nilai IsÂlam pun harus mengalami penyesuaian ke daÂlam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagia Barat.