Penerapan nilai-nilai Syari'ah Islam dikeÂnal prinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur tahap demi tahap (
al-tadrij fi al-tasyri'). Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (
taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Proses sosialisasinya pun beruÂsaha menghindari kesulitan (
'adam al-haraj). Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicaÂpai melali sinergi antara nilai-nilai lokal denÂgan ajaran dasar Islam.
Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan misalnya, bagaimana nilai-nilai lokal Minangkabau yang matriarchal bisa menyatu dengan nilai-nilai IsÂlam yang cenderung patriarchal.
Jika di sana ada kelompok radikal beruÂsaha mengembangkan Islam eksklusif, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran, keÂcemasan, dan ketakutan, maka di IndoneÂsia ada suguhan Islam inklusif, ditampilkan oleh orang-orang yang penuh kearifan, meÂmahami su bstansi ajaran, dan dialektika perjuangan Nabi. Pemahaman Islam secara inklusif selalu berusaha menampilkan Islam sebagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (
rahmah), tolerans (
tasamuh), keadilan (
'adalah), menekankan aspek perÂtemuan, titik temu, dan perjumpaan (
kalimah sawa'); bukannya menampilakan kekerasan (
tasyaddud) dan terorisme (
irhab).
Inklusifisme Syari'ah sesungguhnya juga raÂmah bagi lingkungan alam dan lingkungan soÂsial. Islam yang bisa tegak di atas atau di sampÂing nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terhadap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mampu menjadi wadah peleburan (
meltÂing pot) terhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai universal tetapi konsep universalitasnya tidak tertutup, melainkan terbuka.
Sejarah dunia Islam menunjukkan betapa indahnya perpaduan nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaÂban lokal. Satu sama lain tidak saling menÂgorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanusiaan. Keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terÂbuka, dalam arti fleksibel dan dapat menÂgakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai MerÂauke, ujung Timur Indonesia.
Nabi Muhammad Saw mambangun perÂadaban Islam bukan memulai dari nol tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhaÂna, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi:
InnaÂma bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (SeÂsungguhnya aku diutus untuk menyempurÂnakan akhlak mulia).