Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Etika Politik Dalam Al-Qur'an (17)

Menciptakan Rasa Aman

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 13 Februari 2019, 08:58 WIB
Nasaruddin Umar/Net
MENCIPTAKAN rasa aman kepada seluruh warga masyarakat tanpa membe­dakan kelompok agama, aliran, mazhab, etnik, dan kewarganegaraan salah­satu misi pokok yang disam­paikan Al-Qur'an. Al-Qur'an banyak memberikan contoh pemberian salam kepada berbagai kelompok. Itu artinya menghembus­kan energi positif kepada semua orang sama dengan melahirkan rasa aman kepada kel­ompok masyarakat tersebut. Di antara ayat itu ialah: Wahai orang-orang yang telah beriman, janganlah memasuki rumah-rumah selain dari rumah kamu, sehingga kamu meminta izin da­hulu dan memberi salam kepada penghuninya; itu lebih baik bagi kamu, mudah-mudahan kamu mengingat/Quran: al-Hujurat/24:27). Sebaliknya Al-Qur'an banyak melarang untuk menghem­buskan energi negatif di dalam masyarakat, se­bagaimana bisa dilihat dalam Q.S. Al-Hujurat 43, hampir semua isinya menyerukan orang un­tuk menegakkan rasa aman dan mencegah la­hirnya phoby di dalam masyarakat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dalam hadis Nabi juga pernah ditegaskan: "Maukah kamu aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kamu lakukan, kamu akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kamu" (HR. Muslim). Hadis ini sejalan dengan ayat: "Dan jika dihormati dengan suatu peng­hormatan, balaslah penghormatan itu dengan dengan yang lebih baik dari padanya (yang se­rupa)." (Q.S. al-Nisa’/4:86). Sebuah riwayat dari Ama’ binti Abi Bakar (W.73H) bertanya kepada Nabi prihal kedatangan ibunya yang masih ber­satatus non-muslim. Apakah boleh menyambut dan bersilaturrahim dengannya, lalu Nabi men­jawab: "Sambutlah ibu dan bersilaturrahimlah dengannya". (HR. Bukhari dan Muslim). Ri­wayat lain dari 'Aisyah ra (W.58H) mencerita­kan sekelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: "Assamu alaikum" (kebi­nasaan atasmu), lalu Aisyah menjawab: "Wa­alaikumussam wa al-la'nah" (atasmu juga ke­binasaan dan laknat). Mendengarkan isterinya menjawab salam seperti itu, maka Nabi mene­gur: Pelan-pelan wahai Aisyah, sesungguhnya Swt menyukai kelembutan dalam setiap perka­ra". Aisyah membela: "Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka katakana kepa­damu?" Nabi menjawab: "Engkau telah men­jawab dengan kata wa’alaikumussam". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam satu riwayat jusebutkan Umar ibn Khaththab pernah disalami seorang non-muslim dalam perjalanan di tengah padang pasir. Salam orang itu ialah: Asamu alaikum (kebinasaan atas kalian). Umar menghunus pedangnya dan membunuh orang itu. Saha­bat yang menyertainya kaget dan bertanya, kenapa engkau membunuh orang yang me­nyalamimu? Umar menjelaskan, apakah ka­lian tidak perhatikan ucapannya yang men­gatakan: Assamu alaikum? ari keterangan dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada masalah memberi salam atau men­erima salam kepada atau dari umat non-mus­lim, jika itu dengan niat yang baik serta ses­uai ucapan salam yang lumrah diucapkan, seperti ucapan salam yang bersifat generic, umum, atau salam universal, semisal Se­lamt Pagi, Selamat Siang, Selamat Malam, dan Salam Sejahtera. Namun perbedaan pendapat muncul manakala memberi salam dengan menggunakan simbol salam agama masing-masing untuk komunitas lain.

Sebagian ulama berpendapat boleh mem­beri atau menjawab salam dengan salam standard muslim kepada atau dari umat non-muslim dengan keyakinan makna generic salam itu adalah salam universal. Apalagi lafad: "Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh" yang dianggap sudah menjadi salam nasional untuk bangsa Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA