Nabi Muhammad Saw dikagumi oleh kawan dan lawan karena prinsip keadilannya. Ia selalu menganjurkan sahabatnya agar seÂlalu mengedepankan dan menegakkan rasa adil di dalam masyarakat, termasuk kepada penduduk non-mulim.
Rasa adil kepada segenap warga, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama, dan kewarganegaraan, dipandang sangat fundamental oleh Nabi. Banyak hadis yang dapt dijadikan sebagai bukti betapa Nabi sangat concern terhadap perlakuan adil terhadap penduduk atau etnik tertentu, terÂmasuk perbedaan warna agama, aliran dan kepercayaan. Nabi selalu menyerukan pada setiap kali terjadi peperangan agar jangan membunuh penduduk sipil yang tak berdoÂsa, mengganggu anak-anak dan janda. Nabi juga tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan warna kulit. Muazzin yang selaÂlu dipercaya Nabi ialah Bilal, seorang muallaf dari Afrika yang berkulit hitam.
Contoh lain, Nabi pernah sangat marah kepada Usamah, sang Panglima Angkatan Perang lantaran membunuh salahseorang musuh yang terpojok lalu tiba-tiba meneriakÂkan yel-yel dua kalimat syahadat. Nabi berÂtanya apa alasannya membunuh orang yang sudah bersyahadat. Dijawab oleh Usamah: Ia bersyahadat kerena terpojok. Seandainya ada kesempatan untuk lolos pasti dia tidak bersyahadat. Meskipun demikian Nabi tetap mencela perbuatan Usamah dengan mengatÂakan: Nahnu nahkum bi al-dhawahir wallah ya tawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, Allah yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati). Ini semua menjadi bukti nyata bahwa betapa Rasulullah selalu memberikan rasa adil kepada segenap umatnya, termasuk kepada umat non-muslim. Para sahabat pun ikut mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan Nabi.
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ia pernah bersama Umar ibn Khaththab tiba-tiÂda didatangi seorang non-muslim dari Mesir mengadukan halnya: Wahai Amirul Mukminin, Amr ibn 'Ash pernah mengadakan perlomÂbaan pacuan kuda dan aku yang menang, namun tiba-tiba putra Ibn 'Ash bernama MuÂhammad mengklaim kemenangan itu dengan mengatakan itu kudanya. Aku tetap memperÂtahankan bahwa itu bukan kudanya tetapi kudaku, hingga Muhammad ibn Ash menÂcambuknya. Setelah itu ia mengatakan ambilÂlah kudamu, aku ini adalah putra yang mulia Amr ibn 'Ash. Menanggapi laporan dari non-muslim Mesir itu, maka Umar ibn Khaththab menyurat ke Amr ibn 'Ash agar ia bersama putranya, Muhammad segara menemuinya. Akhirnya ia bersama putranya datang meneÂmui Umar ibn Khaththab, sedangkan MuhamÂmad ibn 'Ash bersembunyi di belakang orang tuanya. Umar mencari orang Mesir yang perÂnah dianiaya lalu diperintahkan untuk menÂcambuk Muhammad hingga memar.